Quantcast
Channel: alisakit™

Abnormalitas Schizophrenia ; Cerpen tentang Sastra Masa Kini

$
0
0
Salam, inilah cerpen yang lahir karena realitas masa kini. Mulai dari realitas pemuda, perkembangan karya sastra, hingga realita kapitalisme. Dan inilah bentuk idealisme saya yang saya tuangkan dalam bentuk Cerita Pendek.

Cerpen tentang Sastra 


 Abnormalitas Schizophrenia

Jelaga telah membekukan kelam malam, namun kantuk masih enggan bersahabat. Aku terkapar dalam kegelisahan yang tersaji di sudut kamar. Malam yang gerah perlahan membawa pikiran dalam persetubuhan otak yang tak pernah klimaks. Menghidangkan kegamangan atas kehidupan yang telah kutempuh lebih dari seperempat abad. Lima tahun kerja lima ribu perak kini terselip di dompet. Kuliah yang tidak kelar, hanya beberapa semester lalu memilih kerja. Menikah? motor butut saja kurang lima kali angsuran. Mamakku sudah cerewet minta menantu. Ah, mengapa waktu melenggang tanpa menungguku yang belum sempat kaya? pertanyaan yang membujuk impuls saraf untuk menegang.

Tiba-tiba pikiran ganjil bin aneh menusuk-nusuk tempurung kepala. Aku berteriak keras, sakit tak tertahan di sela sekat kepala. Urat-urat menegang mengejang. Tiba-tiba muncul sebuah bayang. Sebuah kepala bertubuh aneh kini tersenyum di hadapanku. Hanya berjarak beberapa inchi dari wajahku, hingga tercium busuk bau mulutnya. Untuk sesaat seluruh rangkaian kosmos berhenti. Aku bangkit dan membenturkan kepala pada jendela. Berharap ini hanya ilusi. Hingga benturan paling keras, dia justru terbahak. Wuah, inikah tanda-tanda kegilaan?

 Cerpen tentang Sastra


“Manusia bodoh.” Tiba-tiba suara membuatku terhentak.

“Sss..siapa lu?” tanyaku terbata-bata mengakhiri benturan.

“Benar-benar bodoh, gue itu elu. Tolol banget jadi orang!” bentaknya.

Aku tergelak, ” Dari mana lu muncul?”

“Gue lahir dari perselingkuhan pikiran tolol dengan beban hidup yang lu tanggung. Ketika bulan padam dan laut diam,” jelasnya.

What?aneh, tapi sedikit ketakutan berkurang melihat tampangnya serupa rontokan kemoceng.

“Sok puitis lu,” komentarku mulai rileks.

“Gue kan elu, berarti elu dong yang sok.” Makhluk itu kembali tertawa.

“Lalu apa tujuan elu tercipta?” heranku berkalung tanya.

“Menemani seorang bujang lapuk yang tak laku-laku menghadapi lika-liku hidup. Laki-laki yang pura-pura selalu terlihat ceria, tapi sebenarnya rapuh. Dengan adanya gue siapa tahu ketololannya bisa sembuh.” Mata merahnya terpancar kedamaian. Kedamaian yang entah seketika kurasakan teduh.

“Memangnya gue tolol gitu?” aku mengerutkan dahi.

“Enggak, tapi goblok!”

“Gue nggak ngerasa,” jawabku seraya melipat tangan di dada.

“Nah, itu juga salah satu ketololan elu. Sebuah ketololan yang tak pernah berkesudahan.” Dia tertawa lagi.

“Dialog lu udah kayak film indonesia aja.”

“Emang kenapa?”

“Sumpah, bikin gue mual.” ketusku.

“Emang kenapa?”

“Emang kenapa, emang kenapa? Sekali lagi nanya gitu gue sunat bibir lu. Gue bosen aja sama bombastis film indonesia yang suka latah. Sekarang lagi musimnya cinta-cintaan bernafaskan agama. Sejak suksesnya film ‘Ayat-Ayat Cinta’ belakangnya pada ngekor. Ada kerudung cinta, tasbih cinta, tahmid cinta, mukena cinta. Jangan-jangan entar muncul sarung-sarung cinta, haa..ha.. Eh, ada lagi yang unik, sekarang ada lima madzhab. Satunya madzhab cinta. Ha..ha..ha..”

“Mending sinetron dong ya?” komentarnya.

“Semua sama saja. Latah semua. Dari mulai inayatun, hidayatun, solehatun, mar’atun, sampai toyibatun. Ngakunya sinetron religi, tapi masih aja ada tayangan cewek nggak nutup aurat. Pengajian cewek cowok nyampur, zina mata tuh. Mendingan sekalian nonton tersanjung atau cinta fitri yang sekuelnya tujuh turunan”jawabku sekenanya.

“Emang kenapa? ups.. Ma’af bos khilaf. Ah sok suci lu. Jangan suka protes. Lu aja belum tentu bisa bikin film kayak gitu.”

“Hello… Jangan jadi orang udik[1] lu. Memangnya nggak boleh berkomentar kalau bukan anak cinematographi atau broadcast? Karya yang sudah dilepas ke pasar itu milik publik. Jadi sah-sah saja siapapun berkomentar. Kalau nggak mau dikritik ya angkremin aja di bawah pantat.”

“Jangan sentimentil gitu dong. Santai saja. Anak muda itu nggak usah mikir berat-berat. Bergaul, mencari hiburan. Gaul dong!”

“Gaul? Gue udah capek ngeliat anak muda yang ngaku gaul jaman sekarang. Hanya karena trend mereka jadi kehilangan identitas. Mengadopsi produk-produk massal luar negeri yang membodohi bangsa yang sudah bodoh”

“Kalau kehilangan identitas mah gampang. Tinggal ngurus ke tempat pak Lurah. Ha.. Ha..”

“Yang goblok itu gue apa elu sich?”

“Oke-oke lanjut bos.”

“Sumpah gue mau muntah ngeliat dandanan anak muda jaman sekarang. Bergaya tapi nggak tau maksud dan tujuannya. Model rambut polem[2] dengan celana kecil ke bawah. Ngakunya emo. Pas ditanya apa itu emo jawabnya ‘nama wallpaper’. Ada lagi, kemarin pas konser grup band Wali. Yang dateng dandanannya serba punk. Rambut menantang langit, pake kalung rantai kapal pesiar, celana jeans belel plus jaket ngepres dengan tulisan ‘anti sosial’. Pas Wali bawain lagu ‘bukan bang toyib’, busyet dah pada ngejingrak semua. Pada hafal liriknya di luar kepala, bahkan sampai teriak-teriak nyanyi di bibir panggung”

“Lah, emangnya lu punya identitas?”

“Setidaknya gue nggak ngikut apa yang gue nggak tahu cuma karena biar di bilang trendy. Sebenarnya kita nggak perlu memaksakan kehendak jika kita yakin dengan filsafat dan prinsip yang kita pegang dan nggak mudah terpengaruh apa kata mereka “

“Pantesan nggak laku, nggak gaul sih lu!”

“Kalau gaul model gitu bikin kaya, gue bakal jadi orang pertama yang gaul.”

“Makanya kerja yang bener biar kaya. Lu setengah-setengah sih. Tentuin dong lu pengen disebut apa. Fokus.. Fokus.. Man”

“Katanya elu itu gue. Harusnya lu tau dong gue pengennya orang nyebut gue apa?”

“Hehhhh… Gue ludahin juga lu lama-lama. Ditanya malah balik nanya.” kesalnya.

“Penulis aja lah. Kenapa?” jawabku mengangkat dagu.

“Bhahaha… Emang buku apa yang udah lu terbitin?”

“Apa seseorang harus menerbitkan buku dulu baru disebut penulis?gue punya banyak teman cyber yang nulis puisi, cerpen, prosa, juga essay dengan bagus. Tapi jarang karya mereka diterbitkan. Apa mereka juga tidak layak disebut penulis?”

“Orang kan butuh pengakuan publik atas karyanya.”

“Enggak bisakah kita menyebut diri sesuai keinginan kita? kenapa kita harus tunduk pada kemauan orang, pada norma yang kadang tidak relevan dengan kondisi. Jangan men-judge sesuatu dari penglihatan saja.”

“Wadezig… Sok banget lagu lu ! Kesan pertama itu terlihat dari bungkus luar. Inget kan sama omongan mamak lu, ‘Ajining rogo gumantung soko busono, ajining diri soko lati‘[3].”

“Elu tahu, pas kemarin gue dateng ke acara di sebuah Hotel. Penyanyi disana begitu dihormati pengunjung. Dan gue sempet ngobrol dengannya, ternyata dia jadi penyanyi buat biaya sekolah empat adiknya. Di hotel dia begitu disegani karena dia berwibawa. Padahal cuman lulusan Tsanawiyah. Tapi konsekuensinya di masyarakat dia dicap jelek. Masyarakat memberikan label atas sesuatu yang nggak mereka tahu. Menentukan benar atau salah atas pemikiran yang dangkal. Kadang gue muak hidup dimasyarakat model gitu. Beras murah kalah laku sama gosip. Ha..ha..”

“Toweweng… Emang lu mau hidup di hutan?”

” Yah, tidak bisa tidak. Seorang apatis harus memilih; berkubang dalam lumpur kekosongan atau berkawan dengan hidup, begitu kata Wdji Thukul.”

“Jadi lu ngerasa apatis?” Mahluk itu semakin mendekatkan mukanya ke arahku.

“Ya, karena gue apatis sama realitas. Gue cuma ngelakuin apa yang seharusnya dilakuin.”

“Wah, kalau jadi tentara lu bakal jadi orang apatis dalam satu pleton. Mungkin malah sekompi.”

“Up to you lah! Mau apatis, egois, idealis, puitis, praktis, narsis, gratis, minimalis, gue gak peduli.”

“Nah, kenapa lu nggak nerbitin buku sendiri aja?sekarang kan banyak tuh lembaga penerbitan. Istilah kerennya Self Publishing. Makin terbuka kebebasan buat berkarya cipta”

“Memang disatu sisi gue patut berbesar hati dengan menjamurnya lembaga penerbitan. Tetapi kebebasan saja tidak cukup, menciptakan karya sastra itu butuh keluasan juga kedalaman wawasan. Dan juga daya kreativitas yang tinggi. Kebanyakan sekarang karya tertulis dianggap sastra. Padahal belum tentu karya tertulis itu karya sastra. Nilai-nilai filsafat dan religi itu penting untuk sebuah karya sastra. Tanpa itu, karya hanya seonggok teks bisu dan hampa."

Anehnya, penulis sekarang banyak yang bersemangat menulis tapi menjauhi nilai-nilai tersebut. Maka jangan heran jika sekarang banyak karya sastra yang isinya Pop saja. Tapi bukan berarti ahli filsafat atau ulama itu sastrawan juga. Kadang kalau gue pas ke toko buku lalu menyempatkan ke bagian sastra, disana cuman dapet kekecewaan. Banyak berderet buku teenlit dan chicklit. Apa lagi kalau bukan tentang cerita remaja yang dramatis terlalu indah dengan dialog terlampau biasa. Miskin pesan moral. Kenalan-cinta-berantem-happy ending. Dan nggak bakal laku kalau nggak gitu. Trend yang berbicara. Kapitalisme merajalela. Takut nggak laku kalau nggak ikut seperti itu. Mungkin pemahamanan tentang sastra dianggap sebagai hiburan semata. Dan hal inilah yang sulit diharapkan kemajuan karya sastra kita. Tapi agaknya gue lupa bahwa suka atau tidak suka, kita semua sepertinya mengidap autisme.”

“Elu tuh pinternya menghina doang. Mending jadi kritikus sastra lu.”

“Wah, kritikus sastra juga sekarang banyak pindah haluan. Banyak penulis menganggap kritikus itu benalu. Bahkan sempat terjadi sastrawan religius ternama dengan kalimatnya yang bersahaja. ketika karyanya dikritik, mudah naik pitam, seperti orang yang habis nenggak[4] alkohol.”

“Sok tau lu, selera orang kan beda-beda. Dan nggak semua penulis seperti apa yang lu bilang. Atau elu bikin aja karya yang beda dari yang sudah ada.”

“Gue masih ngerasa bodoh....”

“Nah, itu ngaku.” potongnya diserti tawa.

“Mau dilanjutin nggak nih?” aku menatapnya tajam.

“Ups… Oke, gue bakal jadi pendengar yang baik.”

“Penulis sekarang lebih banyak mengandalkan imaji tak terbatasnya tanpa melihat kaidah-kaidah, padahal terkadang mengartikan ‘Cerita’ dengan ‘Plot’ saja masih belepotan. Alhasil novel-novel sekarang hanya berisi cerita mentah yang belum diolah menjadi plot. Parahnya lagi penggunaan bahasa untuk karyanya menggunakan bahasa harian.”

“Lho, kalau karya untuk remaja ya memang pakai bahasa harian lebih efektif kan? toh tidak semua pembaca yang tahu tentang sastra.”

“Itulah masalahnya, kita terlalu dinina-bobokkan oleh hal kecil yang berdampak besar. Lihat saja, anak muda jaman sekarang merasa asing ketika membaca bahasa indonesia yang baik dan benar. Aneh kan? Bahasa sendiri nggak tahu. Lebih klop pakai bahasa gaul. Dari virus Debi Sahertian, Cinta Laura, Syahrini, kini menyebar juga virus Alay.”

“Orang kere aja belagu. Pede banget sih lu!”

“Nggak ada alasan buat gue rendah diri. Gue mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan buat gue meski gue terlahir di tengah-tengah keluarga kurang mampu. Hidup ini terlalu berharga jika hanya untuk merenungi nasib. Terima aja dengan keikhlasan.”

“Gue tahu jauh di lubuk hati terdalam lu itu rapuh. Bersyukur? lantas kenapa lu gak pernah sholat? jangan-jangan elu pindah aliran Atheis ya?”

“Eits… Sekate-kate [5] lu. Jangan suka menuduh sembarangan. Bisa jadi kafir lu.”

“Lah sarung aja cuma buat selimut. Sholat jum’at kalau diajak bapak kost doang. Munafik lu.”

“Kata guru ngaji gue dulu ‘dahulukan ahlaq sebelum fiqih’. Intinya yang penting jalin kerukunan dulu. Gue mengikuti ajakan bapak kost menimbang kerukunan. Daripada gue dibenci ama dia”

“Hemmmm…. Gini ni jadinya kalau belajar ilmu agama lompat-lompat. Fiqih belum kelar lari ke Tauhid, Tauhid belum kelar lari ke Nahwu, belum kelar lagi udah pindah ke Tasawuf. Lu sebenarnya pinter tapi lu keblinger. Udah tau hukum sholat tapi nggak sholat.”

“Lah, kalau gue sholat lu angus dong. Kan elu setan,” aku terbahak.

“Yah, setan teriak setan.” umpatnya.

“Udah balik sono ke neraka, gue mau istirahat. Besok kerja pagi.”

“Gue tunggu kedatangan lu di neraka. Nanti gue kasih acara sambutan marawis dan tanjidor. Ha..ha..”

Sejurus kemudian tawanya memekakkan telinga, lalu perlahan menghilang diantara temaram kuning sinar bohlam.

“Setan lu!” teriakku.

Aku tersadar oleh peluh yang membanjiri meja. Panas berdesak-desakan dengan cahaya lampu lima watt. Kepalaku terasa begitu berat. Seluruh persendian serasa kaku. Pegal-pegal di setiap anggota badan. Aku memilih terpejam di kasur tua. Dengungan kipas angin perlahan membawaku terlelap.

========
Catatan Kaki:
[1] Kampungan
[2] Poni Lempar
[3] Pepatah Jawa: Kehormatan raga terlihat dari penampilan dan, kehormatan diri terlihat dari tutur bicara
[4] Minum
[5] Sekata-kata; istilah penghinaan dalam bahasa Betawi

Puisi Untuk Ibu di Hari Ibu

$
0
0
Salam. Kali ini saya akan mencoba menulis Puisi Untuk Ibu. Puisi Tentang Ibu sebagai persembahan di Hari Ibu. Puisi tema Ibu ini sebagai bentuk sayang dari saya ke ibu, meski sampai kapanpun saya tidak bisa membalas apa yang pernah ibu berikan pada saya.

Puisi Ibu ini sebenarnya sudah saya tulis sejak lama, tapi belum sempat saya posting di blog ini. Sebelumnya hanya saya posting di catatan fb saja. Puisi ibu ini saya tulis sekitar 3 tahun lalu pada waktu masih produktif menulis. kalau sekarang jujur saya sudah jarang menulis. Mungkin krane fokus pada keluarga baru kali ya :D

Baiklah, berikut puisi tentang ibu yang saya buat untuk ibu tercinta di hari ibu.
Puisi Tentang Ibu

Puisi Tentang Ibu


Segalanya Bagiku

Yang tak lelah mengasihiku
Yang tak luput mendoakanku
Ibu, segalanya bagiku

Pada sekeriputan paras waktu
Kauusir malamku yang tergugu pilu
Dimakinya bulan hingga tertunduk malu
Demi lelapnya aku

Dan sajian pesona kasihmu
Adalah sekumpulan mawar yang selalu mekar di empat musim
Melimpah kasih kurasakan, sejuta cinta kudapatkan
Tundukkan mentari menyengat pada langkah yang terhambat

Lalu, dengan parau suara sendu
Pada antara sepertiga malam sujudmu
Kaugamis rahmat untuk anakmu

Usaplah air matamu, Ibu

Mungkin susu tak lagi bisa kautitipkan Di sela-sela kerongkonganku
Mungkin susu yang kucicipi tak sekental dahulu
Mungkin botol susuku tak lagi sebuah 'botol susu'

Namun, Ibu
Dekapanmu ketika aku takut di temaram sepi
Nyanyianmu yang antarku ke alam mimpi
Semua itu lebih dari sebotol susu.


Selamat Hari Ibu, Ibuku yang paling manis dan akan selalu manis.


Demikian Puisi Tema Ibu, dan............. Selamat Hari Ibu untuk Ibu di Seluruh Dunia :)

Puisi Mbeling Karya Wirasatriaji

$
0
0
Salam. Sekedar berbagi pengetahuan mengenai Pengertian Puisi Mbeling sebelum saya menulis Puisi Mbeling.Dalam bahasa jawa, kata 'mbeling' berarti nakal atau suka memberontak terhadap kemapanan dengan cara-cara yang menarik perhatian. Namun berbeda dengan kata urakan, yang dalam bahasa Jawa lebih dekat dengan sikap kurang ajar, kata mbeling mengandung unsur kecerdasan serta tanggung jawab pribadi.

Apa yang hendak didobrak oleh puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku. Puisi Mbeling adalahpuisi yang membumikan persoalan secara konkret, langsung mengungkapkan gagasan kreatif ke inti makna tanpa pencanggihan bahasa.

Puisi Mbeling

Puisi Mbeling 


Puisi mbeling adalah bentuk puisi yang tidak mengikuti aturan. Aturan puisi yang dimaksud ialah ketentuan-ketentuan yang umum berlaku dalam puisi. Puisi ini muncul pertama kali dalam majalah Aktuil yang menyediakan lembar khusus untuk menampung sajak, dan oleh pengasuhnya yaitu Remy Silado, lembar tersebut diberi nama "Puisi Mbeling".

Kata-kata dalam puisi mbeling tidak perlu dipilih-pilih lagi. Dasar puisi mbeling adalah main-main. Ciri-ciri puisi mbeling Mengutamakan unsur kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat).

Lalu apa bedanya Puisi Mbeling dengan Puisi kontemporer? Jika Puisi Kontemporer, muncul pada masa kini yang bentuk dan gayanya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi pada umumnya, puisi yang lahir di dalam kurun waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya. Sedangkan Puisi mbeling lebih mengacu pada ke-apaadanya pemilihan kata. Secara awam sebenarnya sulit dibedakan antara Mbeling dan Kontemporer tetapi Puisi Kontemporer bisa berupa puisi yang sulit dibaca dan diartikan, lihat pada Contoh Puisi Kontemporer Wirasatriaji.

Dan inilah Kumpulan Puisi-puisi Mbeling yang coba saya buat. Dengan berbekal keterbatasan kemampuan dan Inajinasi semoga ini termasuk Mbeling.


Kumpulan Puisi Mbeling Karya Wirasatriaji



DATANG DAN PERGI

a
ku
datang
ka
mu
pergi
aku pergi kamu datang kamu pergi aku datang
kita pergi kita datang
mereka diam

KUTANG

Kutangmu tak menjadi kutangku
Karena dadamu merah tak membiru
Celanamu tak menjadi celanaku
Karena milikmu lebat di segala penjuru


 ***

 Kisah Kasih

Jalinan kisah kasih yang mengisahkan sepasang kekasih tentang kasih untuk kekasih yang terkasih hingga jadilah kisah tentang kasih.

Sepasang kekasih yang selalu merindu kekasih terkasih yang terjalin dalam kisah kasih pasangan kekasih dalam balutan kasih menjadikan kisah kasih sepanjang kisah dengan kasih yang terkasih dari kekasih.

Datanglah wahai kekasih, datanglah dalam kasih agar menjadi kisah tentang tangis kasih, tawa kasih, rindu kasih, peluk terkasih, dan kasih yang terkisah dalam kasih kita yang saling mengasihi agar terukir kisah kasih sepasang kekasih yang akan selalu terkisah dalam kasih.

Inilah kisah tentang kasih kita, kekasih.

Tentang sepasang kekasih yang selalu merindu kasih dari kekasih yang terkasih dalam kisah kasih.


 ***

Hidup = Ping ?


ping !

Apakah hidup harus tetap kuhidupi
Jika destination unreacheable

reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
Hidup itu tidak menyenangkan

reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
Lalu untuk apa hidup?

***

Amerta

Aku ingin ada, lebih lama
Lebih lama dari yang engkau kira
Dalam hidupku, hidupmu, atau hidup mereka
Dalam matiku, matimu,  atau mati mereka
Sebab aku punya puisi, di sini
Di batu yang telah kutulisi namaku sendiri
Tak perduli dibaca atau dicibiri
Puisi akan tetap puisi

***

Aku Kamu

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku cinta"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku sayang"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku sakit"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku perih"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku hampa"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku tangis"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku tawa"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku kamu"


Demikian Puisi Mbeling yang saya buat semoga bisa memberi pencerahan bagi yang bingung tentang Puisi Mbeling. Anda juga bisa membaca Fiksimini Tentang Kedamaian. Salam.

Tanpa Titik ; Prosa Tentang Kesunyian

$
0
0
Aku tersesat di kota ini, menyusuri lorong-lorong di antara bagunan-bangunan peneduh. Belum lelah kakiku meski sudah berjam-jam sejak matahari bangkit. Aku masih berjalan, tidak ada keinginan berhenti meski kulihat jalan di depan sana seperti tak berujung. Semakin dekat, sesungguhnya ia semakin jauh.

Aku tersesat di antara kata-kata yang memetakan kesunyian. Di antaranya tak ada arah angin yang memberi arah untuk jalan pulang. Aku tak tahu arah jalan pulang

Dan langitpun kembali mendung, mentari mengintip sebentar-sebentar tak berani keluar dari balik awan hitam. Padahal tengah hari biasanya panas menyengat memompa keringat, tapi tidak untuk hari ini. Gerombolan mendung telah menyergap mentari dan mengkerangkengnya dalam hitam. Perlahan namun pasti titik-titik hujan mulai menelanjangi siang membasahi kerinduan tapi melunturkannya. Sekian lama rindu itu mengendap dalam sudut gelap menanti sebias cahaya mendamba desah nafas menyatu. Aku selalu di sana setiap saat, dan bila gelap menyekap aku hanya menyalakan rindu dalam hatiku, karena aku pikir hanya hatikulah yang bisa menerangi diriku saat tak ada kamu.

cerpen kesunyian


Kupejamkan mataku dan membayangkan hadirmu berikan hangat dan kita menyatu dalam desah nafas memburu. Begitu sering kita melakukan itu hingga candunya mengikat hasratku setiap waktu. Berbulan bahkan bertahun sudut itu selalu kita hiasi dengan canda, tawa, desah nafas kita dan kita teguk anggur dalam cawan cinta kita. Sehingga hampir saja aku membuat rumah dalam sudut yang gelap yang dindingnya masih tercium bau keringat kita. Masih terngiang di telingaku saat kautiupkan lembut kata setiamu dan kulihat terselip tulus di lipatan telingamu. Lipatan-lipatan yang sering aku ciumi saat rindu menggangguku.

Rasanya tak ingin hari berganti, tapi waktu mengalahkannya dan detik demi detik menuntunku ke bandara tempat kita melepaskan genggaman saat kepergian. Tetes airmata yang menelaga selalu menyertai awal langkahku darimu. Sering kali kamu membuat telaga-telaga baru di bandara itu yang setiapnya tak pernah mengering. Bahkan menyatu dan mengairi cinta kita. Pematang-pematang tempat kita berjalan masih meninggalkan jejak-jejak dan mengering. Jejak-jejak yang kadang aku menengoknya untuk sekedar mengulang cerita yang lalu. Cerita yang membuatku selalu terkenang akan tawamu, candamu, dan cubitan-cubitan kecil di lenganku. Rasanya enggan aku menutup buku harianku yang saat ini kubaca sambil membayangkan yang pernah terjadi antara kita.

Tapi cerita tentangmu telah berakhir tanpa titik, tanpa koma, hanya tanda tanya berjajar memagar. Aku bisa menerima hujan yang kau turunkan, tapi aku belum mengerti kenapa kau basahi dan lunturkan rinduku? Rindu yang juga pernah menjadi milikmu dan mungkin akan tetap menjadi milik kita. Aku juga masih belum mengerti mengapa kau biarkan dirimu terlena dalam belaian malam dan terlelap, mengapa kaubiarkan petir menyambar menghanguskan asamu? Sementara kau pernah tanamkan pohon asa itu di hatiku. Yang cabang, ranting, dan daunnya merindangi cinta kita, yang buahnya pernah kita makan bersama.

Aku cuma mengerti bahwa saat ini dirimu telah berlalu dari pandanganku. Aku cuma mengerti bahwa saat ini kau telah campakkan sebelah hatiku yang pernah kuserahkan untukmu. Hari-hari bersamamu takkan mungkin kembali, mendung yang kaubawa telah menurunkan isinya dan melunturkan rindu. Apa yang pernah kita lewati adalah keindahan, apa yang pernah kita rasakan adalah kebahagiaan, walau itu telah berakhir.

Di sini, di puncak gunung keputus-asaan aku baringkan diriku agar sang kabut menyelimuti dan membekukan diriku, seperti cintaku.


Restu Dari Surga ; Cerpen Cinta Tak Direstui

$
0
0
Salam. Masih dengan karya Cerpen lama saya. Kali ini cerpen tentang cinta yang tidak direstui. Pernikahan tanpa restu orang tua. Bagaimana kisahnya, mari simak bersama.

Sebuah Cerpen Cinta yang Tak Direstui

 Restu Dari Surga


 "Pergi kau! Aku tidak punya anak durhaka sepertimu!..."

Seorang wanita muda menyentuh pundakku, membuyarkan lamunan. Lantas mengamati refleksi bayangku dalam cermin yang terbalut baju pengantin. Budhe Santi namanya, dia istri Pamanku. Paman sendiri masih berada di ruang depan bersama para Kyai, menjadi wali akad nikahku. Kuusap lembut dahiku dengan tisu, menjaga keringat meleburkan riasan di wajahku.

"Kawulo terimo pendaupanipun lan penikahipun tiyang estri ingkang nami Rahma Binti Suryono . Pendaupanipun lan penikahipun ingkang sampun pasrah dateng panjenengan kelawan mas kawin arto gangsal atus ewu rupiah sampun kulo bayar tunai."

Terdengar kalimat akad telah dilantunkan dengan lancar. Tak terasa bulir bening berloncatan dari sudut mataku. Ya Rabb, jika memang ini jalan yang Engkau ridhoi, lunakkan hati Bapakku ya Allah yang Maha pemberi, desah batinku.

Gejolak batin berkecamuk dalam dada. Pikiran gelisah akan restu Bapak yang belum kudapatkan masih terus mengganggu di detik-detik bahagiaku.

Sebuah Cerpen yang Tak Direstui


***

"Bapak, bukan dia pelakunya. Kenapa Bapak menyamakan dengan Abangnya?" isak tangisku memuncak. Berlutut dan memeluk kaki Bapak.

"Tidak peduli apapun. Bajingan itu berasal dari keluarga biadab itu !" bentak Bapak tanpa memandangku.

"Pak, dengarkan aku..."

"Cukup! Pergi kau dari sini jika tidak mau menuruti kataku!

"Apa kau tega menambah penderitaan kakakmu? Apa kau lihat ada tanggung jawab dari keluarga bajingan itu, hah!

"Apa kau merasakan jeritan sakit kakakmu? Apa kau merasakan ketika kakakmu diperkosa abangnya, hah! Lalu kau mau bergabung dengan keluarga bajingan itu? Lebih baik aku tak punya anak durhaka sepertimu!" umpat Bapak.

"Pak, dia tidak seperti abangnya pak. Dia tidak sama dengannya. Percayalah... " tangisku makin menderu.

"Apa kau mau melihat Bapakmu bakal jadi gila seperti kakakmu karna harus melihat kamu bersama keluarga bajingan itu? Beruntung ibumu sudah mati, hingga tak perlu melihat tingkahmu seperti ini!" Suara Bapak makin meninggi. "Dan masih untung lelaki bangsat itu karena tak ada bukti-bukti untuk mejeratnya ke dalam penjara. Padahal dia juga yang membunuh janin dalam kandungan kakakmu. Apa kamu ingin Bapakmu menyaksikan itu terjadi juga padamu? Apakah Bapakmu harus menyaksikan untuk kedua kalinya, putrinya diperkosa lalu pria itu menolak bertanggung jawab dan membunuh janinnya sehingga membuatnya gila? Apa kau ingin gila seperti kakakmu, hah!" Bapak menatap tajam, melukiskan raut wajah serupa singa yang siap menerkam.

"Tidak pak... Kami akan menikah. Kami ingin sah sebagai suami istri, pak... "

“Sampai mati pun aku tak akan pernah merestuimu! Tak akan kubiarkan kau jadi bagian dari keluarga biadab itu. Seluruh keluarganya sama saja!”

“Pak, kami akan menikah resmi pak. Kami akan menikah. Kami akan mengontrak rumah sendiri pak... “ ratapku tiada henti.

"Baik. Kalau kau memang ingin demikian, kau bukan anakku lagi. Camkan itu!

" Pergi kau! Aku tidak punya anak durhaka sepertimu!" Bapak berlalu. Terdengar bantingan pintu dari arah kamar Bapak.


***

Prosesi pernikahan telah selesai. Tidak ada keramaian yang bergembira seperti yang telah kubayangkannya selama ini. Tidak ada tenda biru, tidak ada janur kuning, tidak ada pelaminan dengan hiasan megah. Tidak ada pesta layaknya pernikahan pada umumnya. Tidak ada.

“Sekarang kalian telah sah menjadi suami istri. Cium tangannya,” ucap Budhe Santi ketika mas Rahmat menghampiriku di ruang tengah.

Aku meraih tangan lelaki tampan di depanku. Mengecup punggung tangannya lalu memeluknya sesaat. Sebentuk cincin polos dimasukkan ke jari manisku. Aku menatapnya. Lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku itu tersenyum. Air mataku kembali menetes. Merusak polesan bedak diwajahku. Mengalir lewat lekuk pipi dan menyisakan butiran di ujung bibir.

***

Untuk Bapak,
Bapak, bagaimanapun kerasnya Bapak menentang, memutuskan hubungan kita, hubungan itu tetap ada. Dan aku tetap menganggap Bapak sebagai ayahku. Satu dan selamanya….

Bapak, aku mengenalnya jauh sebelum kejadian itu. Bagaimana mungkin Bapak tega memberatkan kejadian tragis itu sebagai bagian dosa-dosa yang harus ditembusnya meski dia tidak pernah melakukannya. Bukankah Bapak selalu mengajarkan untuk tidak memiliki dendam? Bukankah Bapak juga yang selalu memberitahu bahwa kebencian pada seseorang jangan dikaitkan dengan orang lain yang tidak berdosa?

Bapak, dosakah itu jika aku menikahi pria yang kucintai? Memisahkan dia dengan keadaan yang seharusnya bukanlah beban dia? Maaf Bapak, jika pada kenyataannya Bapak tetap menganggap itu suatu kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku akan menjalaninya. Dengan ataupun tanpa restu dari Bapak, meski Bapak tahu jelas harapan akan restu dari Bapak selalu ada dan tak pernah sirna. Aku sudah bicara dengan Paman Fandi, dia bersedia menjadi wali nikahku.
Bapak ... maaf karena anakmu tidak berbakti.
Dengan cinta yang penuh tangis darah,
Putrimu,
Rahma Raisya.

Sepucuk surat telah sampai pada alamatnya, ketika rumah itu ramai orang-orang. Sepucuk surat itu tepat pada tujuan, tapi terlambat. Seraut wajah tua yang penuh kerutan telah memejamkan matanya. Terbujur kaku, terbungkus kain putih dengan hiasan kapas pada lubang hidungnya. Diam untuk selamanya. Hanya beberapa jam, dipisahkan oleh jarak, dua peristiwa besar telah terjadi. Apakah “maaf” dan “restu” itu masih ada?


Batang, 26 Maret 2011

Penyair Hanya Punya Kata-kata ; Sebuah Pandangan Puisi

$
0
0
Penyair Hanya Punya Katakata

... Penyair hanya punya kata-kata, campakkanlah ia di sudut yang paling sudut, karena ia adalah aku…

Teman, kalimat itu aku baca di lembaran terakhir buku lusuh yang kutemukan di jalan. Entah mengutip dari mana, entah ditujukan untuk siapa, aku tak peduli. Hanya, ketika ada sedikit kesalahpahaman dengan kekasihku, kalimat itu kukutip dalam surat untuknya (mungkin itu romansa tahun usang, kalau sekarang, katanya, sudah tidak jamannya surat-suratan). Kamu tahu hasilnya? Damai pun menyinari bumi. Teman, begitu dahsyatkah kekuatan sebuah puisi?

Yang mengherankan, sampai dengan sekarang kalimat tersebut begitu lekat dalam ingatanku. Melebihi ingatan gejolak kerinduan yang disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu (dari sajak Sapardi Djoko Damono, judulnya “Aku Ingin”).

Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Untuk kemudian dengan rela dicampakkan di sudut yang paling sudut. Mungkin di laci meja berteman dengan tumpukan bon warteg, berdebu, dimakan ngengat, dan kemudian tak terselamatkan karena banjir melanda kota. Mungkin juga sedikit keren nampang di toko buku, tapi merana karena tak terbaca dan jumlahnya hanya sedikit berkurang. Atau mungkin bersemayam di sudut yang begitu dalam di hati kekasih pujaan, menatahkan prasasti kebahagiaan yang begitu personal, untuk kemudian terempas kenyataan karena ada orang lain yang menyodorkan syair kemapanan. Dan mungkin juga terbenam di sudut pikiran kita, tak tertuliskan, tak terkatakan, menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan. Yang paling parah tentu dicampakkan oleh institusi yang merasa kehormatannya dilecehkan: ke dalam penjara keterasingan atau dihilangkan begitu saja.

Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Kata-kata yang mungkin hanya dibaca oleh penyair lain, pemerhati sastra, pengamat sastra, atau masyarakat komunitas sastra. Sambil was-was mengharap penilaian bintang lima. Bukankah orang-orang itu sudah terlalu kenyang melahap hal-hal tersebut? Beranikah kita berharap puisi-puisi bisa akrab di telinga masyarakat umum, seperti lagu dangdut yang begitu riuh berdombretan menyambut pagi yang menyingsing, padahal sama-sama berisi kesedihan? Apa penyair harus minta bantuan aransemen kepada Erwin Gutawa atau Dhani Dewa, kemudian dinyanyikan secara mendesah oleh Ayu Ting Ting atau Syahrini? Menjadi semacam jalan "sosialisasi puisi". Tapi, jangan-jangan pengamat sastra dan penyair itu sendiri merasa terjebak dalam lingkaran budaya populer. Nah lo….

Teman, banyak orang mengatakan bahwa penyair adalah seorang yang memiliki kepekaan jiwa, lihai mengungkapkan perasaan, sabar dalam menyelami makna, dan sifat-sifat yang mulia lainnya. Jadi, berbanggalah para penyair. Ya, walaupun banyak pula orang yang mengatakan bahwa penyair (dan seniman lainnya) hanyalah orang dengan tingkah laku, pakaian, dan berpikiran aneh. Maksudnya mungkin "nyeni". Tapi percayalah, Teman, bahwa penyair dilahirkan di dunia ini untuk memberi setitik cahaya terang, seperti nyala lampu lilin di gelap malam sunyi. Setidaknya, itu untuk diri sendiri, kekasih, teman terdekat, dan masyarakat (kalau bisa).

Teman, benarkah penyair hanya punya kata-kata? Mungkin tidak! Wiji Thukul tak hanya punya satu kata: Lawan. Jalan hidupnya sendiri adalah sebuah perlawanan. Mungkin tanpa ia berkata-kata. (Meski keberadaannya pun hilang tanpa kata-kata). Bagaimana bila kata itu aku yang menulis, seorang yang sendirian, yang sekadar menulis tak karuan, tak pernah turun ke jalan, dan selalu terlambat dalam bersikap? Mungkin hanya kata-kata kosong, Kawan.


Sebuah Pandangan Puisi

Teman, aku selalu ragu apakah puisi yang aku tulis bisa singgah di hati pembaca. Karena, terus terang saja, aku sendiri begitu malas membaca, apalagi memahami puisi. Ya, buktinya buku antologi puisi yang aku punya hanya hasil dari hadiah penerbit atas cover buatanku. Nama-nama penyair pun kuingat hanya sebatas nama, itu pun yang umum-umum saja. Jadi, aku tak berhak mengharapkan agar masyarakat umum bisa membukakan diri pada puisi.

Teman, aku hanya punya kata-kata. Itu pun selalu tak karuan. Jadi, kalau kamu bertanya, "Lalu untuk apa menulis puisi?" Mungkin aku akan menjawab, "Entahlah.…"

Ijinkan Aku Bercerita ; Sebuah Surat Cinta

$
0
0
Ijinkan aku bercerita, tentang perasaan-perasaan yang dipaksa diam. Katakanlah tentang bagaimana tubuh padam seperti matahari yang lisut di balik ombak ketika melihatmu, hanya melihatmu, melihat wajah bulanmu bersinar pada hari yang begitu terang, sebab bagaimana mungkin aku bisa menahan hasrat untuk tidak melihatnya, meski diam-diam, mengintip dari balik dedauan, bahu kawan, juga lirikan. Hanya hasrat yang terus dipaksa bungkam.

Bisakah kamu membayangkan apa yang sedang kurasakan? Bagaimana aku hanya bisa membayangkan menyentuh jejarimu, menyentuh alismu yang berbaris rapi, mengusap rambutmu yang hitam tergerai di kening, di kuping, sebab aku tidak akan pernah bisa menyentuhnya dengan perasaan yang berbeda selain sebagai seorang kawan. Bagaimana mungkin bisa menyentuh hatimu?

Surat Cinta


Telah kuciptakan banyak puisi untukmu, untuk meluluhkan hatimu, berharap kamu menoleh dan melihatku sejenak di ujung hari yang kian tua ini, sekedar menikmati sore yang sebentar lagi malam, mungkin juga hujan yang membawa titik-titik air membasuh permukaan bumi. Telah kuciptakan banyak puisi untukmu. Hanya untukmu, tentang bagaimana aku mengagumimu, bagaimana aku mengenangkan matamu, bagaimana caramu tertawa, bicara, tersenyum.

Aku akan tetap mencintaimu sampai tanganku tak mampu menulis lagi, sampai mataku tak bisa terbuka lagi, sampai nafasku tak berhembus lagi, sampai jantungku tak berdenyut lagi, sampai kata-kata telah habis kutulis menjadi bait puisi yang menceritakan tentangmu, hanya tentangmu, juga tentang perasaanku padamu.

Kalau Pablo Neruda menulis ‘puisi paling sedih’ untuk mengenang kekasihnya, maka aku akan menulis puisi yang lebih sedih lagi, misalnya tentang hatiku yang terus menjerit melihat tubuhmu seperti ombak biru yang menghempas pantai dan karang dan udara. Juga perahu nelayan yang mencoba menepi, juga perahuku yang terus terombang-ambing kehilangan arah.

Kalau hari memang tidak pernah berpihak padaku, tak apa, sebab ketika akhirnya kapalku karam di sebuah negeri yang belum bernama, aku akan terus mencintaimu seperti angin yang terus membelai wajahmu, udara yang memberimu kehidupan. Aku akan menanami seribu jenis bunga di sebuah taman, juga seribu puisi, tempat mematrikan kenanganku tentangmu.

Maka ijinkan aku bercerita sekali lagi, sebelum kamu pergi dengan pengantinmu, dan merenggut nafas dari paru-paruku.

Jangan Khawatir, Nak

$
0
0
Bayi-bayi yang mungil. Bayi-bayi yang hidupnya masih bergantung pada orang dewasa. Tangan-tangan yang mungil, kaki yang terlihat rapuh, mata yang kecil, juga tangis yang mendamaikan. Begitu manis, begitu indah, begitu suci. Sebab kencing dan kotoran mereka saja tidak bau.
Hanya kita orang-orang dewasa yang akan mengotori mereka dengan keinginan-keinginan yang dibebankan kepada meraka. Sesuatu yang menurut kita terbaik, tapi belum tentu terbaik untuk dirinya. Usia sekian sudah harus les ballet atau piano. Lalu les bahasa inggris, les renang, les modelling atau vokal. Sementara waktu mereka bermain dan menjadi diri sendiri hilang.



Kita, sering menyerupai anak dengan bahan mentah keramik. Membentuknya sesuka hati sesuai keinginan tanpa membiarkannya tumbuh alami. Waktu untuk mereka tumbuh menjadi dirinya kita rampas dengan les-les mengerikan itu. Kita -- orang-orang dewasa, sering menjadi pembunuh karakter anak-anak kita.

Maka, jangan khawatir nak, kelak ayah akan memberikan kebebasan untuk menjadi dirimu sendiri.

Percakapan Dengan Rembulan ; Sebuah Prosa Tentang Cinta

$
0
0
Sayang, sadarkah betapa menakjubkannya dirimu? Senyummu sesejuk air sungai surgawi pelepas dahaga, matamu seindah kerlip bintang yang menghiasi malam jelaga. Tawamu semerdu nyanyian para Diva utusan khayangan. Gerakmu indah --meski tiada pasti. Maka, berilah aku seteguk air surgawimu, biarkan aku mengagumi kerlip bintangmu, sambil aku rebah di rerumputan, menikmati merdu tawamu. Akan kuceritakan sebuah rahasia kecilku dengan rembulan, ketika suatu waktu aku sempat memandangi dirimu yang terlelap diantara pinus-pinus di pinggir danau yang riak airnya berkilauan bak permata, terbias cahaya purnama yang tersenyum di pojok langit.


prosa cinta

Roman wajahmu selugu bayi baru terlahir. Oh… rasanya ingin membelai rambutmu, menyentuh alismu, mengecup matamu yang terpejam, lalu bibirmu yang menyunggingkan senyum. Tapi aku cuma memandangimu, sebab engkau terlalu menghanyutkan korneaku.

“Aku mencintainya, Bulan".

Akan kuminta langit melatari lukisanmu, dan awan meneduhkanmu dari panas.

“Tapi aku tidak bisa terbang”.

Bersiaplah, sayapmu akan tumbuh, telah kuminta Dewa-dewa meminjamkannya untukmu.

“Terima kasih, Bulan”.

Berbahagialah, sebab cintamu cintanya akan menjadi awan-awan Nebula yang abadi menghiasi semesta

***

Hubungan antara Lupa dan Cinta

$
0
0
"Kamu tidak perhatian. Kamu lupa apa warna favoritku, lagu kesukaanku, kamu lupa, kamu tidak perhatian."

Lupa dan Perhatian. Aku tak melihat hubungannya. Apalagi dihubungkan dengan Cinta? Apa hati yang mencinta saja tidak cukup. Apa kesetiaan saja tidak cukup. Lupaku bukan bentuk ketidakperhatianku. Apakah begitu penting warna favorit, lagu kesukaan? Cinta adalah ingatan, seperti itu kah? Apakah berarti cinta tidak ada ketika ingatan memudar seperti pasangan diatas 50 tahun, tidak ada lagi cinta. Aku tidak setuju. Bagaimana dengan aku yang sudah pelupa sebelum 50 tahun? Apakah aku tak pantas untuk mencinta dan dicinta?

"Kamu lupa tanggal kita jadian dan tahun lalu kamu lupa ulang tahunku. Lupa adalah tanda tidak mencinta."

Aku tak tahu hal-hal seperti ini begitu penting bagi perempuan. Romantisme perempuan penuh kekurangajaran. Selalu melihat yang sepele dan tutup mata pada hal yang besar.

Bagaimana mungkin kamu bilang hatimu hal yang besar yang penuh kesetiaan dan cinta jika ulang tahunku saja kamu tidak ingat?"

"Aku pelupa."

"Alasan yang paling tidak masuk akal."


Hubungan antara Lupa dan Cinta

Aku menertawakan lupaku. Menertawakan definisi cinta baru. Menertawakan diriku sendiri.

Semoga aku lupa. Aku tertawa lagi. Lupa mencintai, lupa dicintai. Lupa sakit hati. Betapa menyenangkan menjadi lupa.

Ajari Aku Menangis ; Sebuah Cerpen Mencintai Sahabat

$
0
0
Salam, kali ini coba bikin Cerpen tentang mencintai sahabat sendiri. Tetapi tak hanya itu, mencintai dengan diam-diam. Cerpen cinta dalam hati, cinta diam-diam. Cerpen ini berjudul "Ajari Aku Menangis" dengan setting Jakarta dan Jogja. Cerpen Cinta yang berakhir sedih. Selamat Membaca.

Cerpen Cinta Dalam Hati


Ajari Aku Menangis
Oleh : Wirasatriaji


“Yakin mau ke Jogya?”

“Yakin.”

“Udah siap mental?”

“Siap.”

“Tahu enggak, kadang-kadang gue tuh nganggep elo kurang waras atau terlalu baik sama orang. Jelas-jelas hal kayak gini bakal bikin elo sakit hati…eit, jangan menyela dulu. Gue tahu banget apa yang elo rasain. Lo sahabat terbaik yang gue pernah punya, Laras, gue nggak mau elo terus-terusan nyakitin diri sendiri.”

“Kamu juga sahabat terbaik yang pernah saya punya. Thanks udah perhatiin, tapi untuk yang satu ini saya harus datang…”

“Why…coba kasih satu alasan ke gue kenapa lo harus datang?”

“Dia sahabatku. Artinya, pacarnya juga temanku, apalagi ini masalah mereka berdua.”

“Bener banget. Masalah mereka berdua, bukan masalah elo. Pacarnya yang cemburu gara-gara cowoknya suka ngomongin cewek lain yang lebih cantik dari dia, bukannya ngomong ke cowoknya malah nangis bobay gitu di telepon.”

“Dia nggak berani ngomong. Takut dikira posesif.”

“Masalah ya dihadapi dong, jangan dipendam. Kalau cuma diemmmm aja, mana cowoknya bisa tahu dia terganggu kalau cowoknya suka muji cewek lain.”

“Maklum ajalah, anak baru kuliah.”

“Lagian ngapain sih temen lo udah lewat seperempat abad tapi masih macarin anak ABG?”
“Namanya cinta, mana bisa dikontrol, datang ya datang aja. Pergi ya pergi aja.”

“Tapi cinta elo ke dia kok nggak ilang ya? Percuma meski gue udah nyodorin seratus cowok ganteng ke elo, hati lo tetep aja keukeh sama tu cowok.”

“Saya packing dulu.”

“Mau dibantu?”

“Nggak usah. Cuma buat sehari ini, cuma bawa baju ganti aja.”


***

Ada kesesakan yang datang begitu saya keluar dari pintu pesawat, ketika kulit saya kembali disengat panas cuaca Jogja, ketika paru-paru saya kembali menghirup udara yang padanya pernah saya titipkan kehidupan juga do’a dan harapan. Entah kenapa. Barangkali Cahaya benar, saya tidak lagi siap datang ke kota ini menemui lelaki yang tanpa sadar sering melukai saya. Ada rasa takut yang tiba-tiba datang, tetapi ada juga rasa kangen yang begitu dalam. Seperti apakah dia sekarang? Berubahkah?

Saya berjalan cepat melewati jalan aspal menuju ruang kedatangan. Karena tidak punya bagasi, saya langsung menuju pintu keluar tanpa harus berurusan dengan petugas pemeriksa yang meski ramah tetapi tetap penuh kecurigaan.

Melewati pintu, mata saya langsung tertubruk ada sesosok yang begitu saya kenal, yang padanya telah saya serahkan hati saya. Seorang sahabat yang seiring waktu membuat saya jatuh cinta sama dia tanpa pernah dia sadari, atau sesungguhnya dia menyadari itu tetapi mendiamkanya sebab dia tidak punya perasaan yang sama seperti saya terhadapnya.

Tidak banyak yang berubah darinya. Rambutnya masih gondrong nggak karuan. Pakaian yang menempel di tubuhnya masih celana jeans dan kaos oblong lusuh dengan sepatu kets usang menempel di kaki. Apakah baunya masih sama? Saya belum tahu. Sudah dua tahun lebih saya tidak bertemu dengannya sejak lulus kuliah, saya bekerja di Jakarta, dia menetap di Jogja, membuka tempat kursus musik bareng kawan kuliahnya, juga kabarnya tengah mempersiapkan sebuah album etnik kontemporer yang dibiayai oleh Lembaga Indonesia Perancis.

Dia tersenyum sama saya, sama seperti dulu, hangat. Memeluk tubuh saya yang langsung tenggelam dalam tubuhnya. 170cm dibanding 163cm. Baunya masih sama, keringat khas lelaki. Hangat tubuhnya juga masih sama.

“Makin cantik aja kamu.” Katanya melepaskan pelukan dan memandang wajah saya. Sebentar hati saya bahagia atas pujiannya, saya rasakan wajah saya memanas, mungkin merah. Cepat saya menunduk.

“Bawa kendaraan atau kita naik taksi?” tanyaku cepat.

“Aku bawa mobil kawanku.”

Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir. Dia menggenggam tangan saya persis seperti dulu kalau kami sedang jalan berdua. Genggamannya kokoh. Saya merasa begitu aman di dekatnya.
Kami berbicara banyak di dalam mobil menuju hotel saya menginap. Tentang kabar saya, tentang kabarnya, kabar kawan-kawan lama yang juga sudah lama nggak ketemu. Saya tanya kabar pacarnya, katanya baik.

Tapi saya nggak cerita kalau pacarnya sering kirim sms sama saya untuk sekedar tanya tentang dia, apa kesukaannya, apa yang dibencinya, atau yang terakhir soal cemburu sebab sahabat saya ini suka sekali ngomongin cewek cantik yang dikenalnya. Saya juga nggak bakal cerita kalau kedatangan saya ke Jogja bukan sekedar berkunjung untuk refreshing seperti yang saya bilang, tapi pacarnya kirim sms kepingin ketemu saya. Mau minta tolong saya untuk menjelaskan soal kecemburuannya sama sahabat saya.

Waktu saya tanya, kenapa saya? Dia jawab sebab saya yang dekat dengan pacarnya, sebab pacarnya selalu memuji saya sebagai seorang sahabat terbaik yang pernah dimilikinya.

Dia meninggalkan saya di penginapan untuk istirahat sebab malamnya kami mau pergi bernostalgia dengan minum teh poci di utara stasiun Tugu, barangkali setelahnya menyusuri Maliboro, menikmatinya waktu malam, waktu kendaraan sepi dan hanya ada penjual gudeg, pengamen, pengemis, dan pasangan bercinta.

Dari penginapan, saya menelepon pacarnya untuk mengabarkan kedatangan saya dan membuat janji bertemu di luar jadwal dengan sahabat saya. Dia mengusulkan besok pagi datang ke hotel saya saat sarapan pagi sebab siangnya saya mau pergi mengunjungi kawan saya yang lain dan sore sudah pulang ke Jakarta.

***

Dua tahun sudah saya meninggalkan kota ini. Tak banyak yang berubah, kecuali saya merasa cuaca Jogja yang semakin panas menyengat dan pelan namun pasti, kota ini berusaha mempercantik diri dengan mencontek Jakarta. Memasang lampu-lampu gemerlap yang membuat malam lebih cantik, bukan hanya fungsi penerangan, tetapi juga keindahan. Tapi saya merasa terganggu dengan bangku beton yang membuat depan benteng Vrederbug tidak selapang dulu. Tidak ada lagi anak-anak punk yang sering nongkrong disana. Saya kenal beberapa dari mereka sebab saya juga sering menghabiskan waktu disana.

Dari penginapan saya di jalan Janti, kami naik taksi sampai perempatan di depan kantor pos pusat. Lalu jalan kaki ke Utara, menuju stasiun Tugu. Panca, sahabat saya sudah minta izin sama Alya, pacarnya, untuk menghabiskan malam ini dengan saya sebab sudah dua tahun nggak ketemu. Tentu saja pacarnya mengizinkan, sebab ini bagian dari rencana kita juga.

Maka, sepanjang perjalanan menuju tempat minum teh poci, diantara obroloan masa lalu, saya selipkan pertanyaan soal pacarnya yang saya belum pernah ketemu dengannya. Tidak mengenal wajahnya. Apakah dia cantik fisiknya atau hatinya yang membuatnya kagum.

Panca sepertinya bukan tipe lelaki yang mengagungkan kecantikan, sebab selama saya mengenalnya, dia tidak hanya pacaran dengan perempuan berparas bak dewi, tetapi ada juga yang punya tampang standar. Saya pernah menghitung berapa cewek yang sudah dikencaninya, lebih dari dua belas selama lima tahun saya mengenalnya. Dari semua ceweknya, maka saya tahu dia bukan pencinta perempuan tampang keren tok. Itu juga yang membikin saya heran sama pengaduan pacarnya yang sekarang. Barangkali pacarnya aja yang emang cemburuan, begitu sempat saya pikir juga.

Tak ada yang salah dengan cemburu asal kadarnya pas dan nggak membikin orang jadi kurang waras dengan melakukan hal-hal yang bisa merugikan diri sendiri. Tak ada yang salah meski ia membakar seluruh tubuhmu, sebab saya merasakannya lebih dari empat tahun. Saya cemburu sama gadis-gadis yang dikenalkan Panca sebagai pacarnya, atau hanya sekedar untuk ditiduri. Tubuh saya rasanya seperti disayat sembilu yang ngilu saat dia dengan cuek menceritakan soal bagaimana dia meniduri gadis-gadisnya. Atau ketika dia ngajak saya pergi ke mall nyari kado untuk pacarnya yang ulang tahun atau ikut euforia valentine. Sakit yang disembunyikan dalam senyum.

Saya cemburu. Tetapi sadar itu bukan salahnya. Itu salah saya sendiri yang mencintainya dan merasa sakit melihat hubungannya dengan gadis lain. Saya yang mencinta, bukan dia. Maka saya yang harus menanggung sakitnya sendiri.

Cerpen Cinta Dalam Hati


Sepanjang jalan, dia kembali menggenggam tangan saya. Kami seperti pasangan yang sedang kasmaran. Kenyataannya, saya yang kasmaran sama dia, tetapi tidak sebaliknya. Saya nikmati sentuhan kulit tangannya yang kasar. Saya resapi sentuhan kulitnya pada kulit tangan saya. Saya simpan dalam memori bau tubuh dan nafasnya, juga bau rambutnya yang apek. Mendadak saya merasa begitu sedih. Saya merasakan sesuatu yang saya inginkan begitu dekat, tetapi tidak pernah bisa saya miliki. Saya merasakan dada saya sesak, tetapi saya tahan kuat-kuat supaya dia tidak membentuk isak, atau tangis. Maka saya menggigit bibir.

“Kok bibirnya digigit?”

Saya hanya menggeleng.

“Jangan dibiasain, ah. Jelek.”

Saya hanya tersenyum. Kami sampai di tempat minum teh Poci. Tempat itu ramai seperti biasa, tak banyak juga yang berubah. Orang-orang yang menikmati suasana malam itu disitu dengan segelas teh masih saja suka membuangi sampahkan di tepi jalan tempat mereka duduk di atas trotoar. Dari segi kebersihan, tempat ini jauh dari kata sehat, tetapi entah kenapa selalu saja dan tetap saja ramai dikunjungi. Termasuk kami waktu-waktu dulu.

Panca memesan dua gelas teh dan Jadah bakar, juga beberapa gorengan.

“Kok pacar kamu nggak diajak?” Tanyanya setelah duduk lagi disampingku.

“Belum punya.” Jawab saya pendek.

“Aku heran deh sama kamu, Ras. Sejak kita kenal enam tahun lalu, kamu kok enggak pernah pacaran sih?”

“Nggak ada cowok yang cocok aja.”

“Memangnya tipe kamu gimana?”

“Nggak ada tipe-tipean. Emang rumah?”

“Terus, jangan-jangan kamu penyuka sesama jenis lagi.”

Saya menampar pundaknya.

“Saya masih normal, om. Jangan curigaan deh sama orang yang nggak pacaran. Masing-masing orang kan punya prinsip yang beda. Lagian namanya cinta kan sesuatu yang nggak bisa ditebak.”
“Tapi seenggaknya pernah naksirlah sama cowok.”

“Pernah. Sekali. Sampai sekarang masih.”

“Siapa?”

Kamu, hati saya berkata. Tetapi mulut saya mengatakan : “Mau tau aja.”

“Terus selama ini kamu simpen aja perasaan kamu sama cowok itu?”

Saya mengangguk.

“Kok nggak diungkapin aja?”

“Saya masih waras. Sampai tahun air lebih mahal dari emas juga kalau’ cewek ngungkapin cintanya ke cowok bakal dikira cewek nggak bener, murahan.”

“Aku enggak. Banyak cewek yang justru nembak aku.”

“Dan kamu manfaatin? Sama aja.”

Dia tertawa. Teh pesanan kami datang. Di beberapa tempat yang juga menjual teh poci, mereka memakai gula batu, bukan gula pasir. Tetapi di tempat ini saya belum tahu mereka memakai gula pasir atau gula batu. Nggak peduli aja, sebab tehnya enak.

“Panca, kamu pernah cemburu nggak?”

Dia menatap saya, barangkali heran dengan pertanyaan yang baru saja saya ajukan.

“Pernah. Kenapa?”

“Kenapa cemburu?”

Dia mengernyitkan dahi, barangkali berpikir, menggali memori sebab dia cemburu, atau barangkali kebingungan dengan pertanyaan saja lagi.

“Cemburu waktu abangku dapat mobil pas kuliah tapi aku enggak.”

Sial, makiku dalam hati.

“Bukan itu. Cemburu sama pacar.”

“Kok nanya gitu sih?”

“Ya nanya aja. Karena kayaknya kamu nggak punya rasa cemburu sama pacar-pacar kamu.”

“Cemburu nggak sehat, ngapain dipelihara.”

“Tapi itu kan normal untuk manusia. Kalo kamu nggak pernah cemburu rasanya abnormal deh.”

“Cemburu pernahlah, cuma aku nggak pernah membikin itu serius. Kalau liat cewekku jalan sama cowok lain, cemburu pasti ada, apalagi dia muji cowok lain di depanku, tapi nggak dipikirin deh. Kalau dia mau pacaran sama cowok itu, aku juga bisa kencan dengan cewek lain. Urusan selesai.”

“Enak bener ya prinsip kamu.”

“Hidup udah susah, ngapain dibikin susah lagi.”

Saya menyeruput teh saya. Hangat. Lalu menggigit sepotong jadah bakar.

“Kayaknya ada yang kurang. Rasanya hambar gitu ya?” Kataku setelah mengunyah Jadah Bakar.
Dia mengambil sepotong dan menggigitnya dan mengiyakan apa yang saya rasa.

Semakin malam, tempat itu bukan semakin sepi, justru semakin padat oleh pengunjung. Sampah bertebaran dimana-mana. Lalu lalang kendaraan yang mencoba mencari tempat parkir atau sekedar lewat.

“Kamu pernah kepikiran untuk serius pacaran nggak, sih? Kok kayaknya masih having fun saja.”

“Masih muda non. Baru dua lima ini. Kalo mau serius kawin, entar dulu ah.”

“Kamu pernah hitung nggak, berapa kali pacaran?”

Dia diam sebentar, barangkali mencoba mengingat berapa cewek yang sudah dipacarinya.

“Lupa.” Jawabnya sambil nyengir.

“Selama kita kenal, ada dua belas cewek yang kamu pacari. Yang sekarang ini ketiga belas.”

“Elo ngitung? Hahahaha. Aku aja enggak.”

Saya hanya tersenyum. Menyeruput lagi teh poci, mencoba menenangkan hati. Membahas soal pacar-pacarnya selalu saja membuat hati saya sakit. Bagaimanapun, saya masih mencintainya.

“Pernah nggak kamu tahu, atau tanya, berapa sakit yang udah kamu ciptakan untuk cewek kamu?”

Dia diam, menatap saya heran.

“Memang ada apa sih?”

“Nggak ada apa-apa, aku cuma nanya aja.”

“Aku nggak tahu. Nggak pernah nanya.”

“Dari tiga belas itu. Barangkali ada yang cuek aja kamu putusin. Ada yang cuek aja waktu kalian masih pacaran lalu kamu kencani cewek lain untuk sekedar one night stand. Ada yang cuek sama gaya hidup kamu. Tapi...” saya menghela nafas, mencoba mengontrol emosi, ”pasti ada salah satu dari mereka yang memuja kamu habis-habisan. Membayangkan sebuah masa depan denganmu. Menjadi ayah dari anak-anaknya. Ada yang cemburu waktu kamu bilang cinta sama dia tapi kamu juga saat yang bersamaan meniduri gadis lain. Apa kamu nggak sadar itu?”

Saya menangkap ekspresi terkejut di wajahnya yang menatap saya.

“Laras...”

“Panca, kamu boleh nggak peduli sama perempuan yang memang hanya mau menikmati tubuh kamu seperti kamu juga cuma mau seks aja. Kamu boleh jadi tipe cowok yang nggak romantis, yang nggak suka mengungkapkan rasa cinta kamu secara berlebihan ke cewek. Kamu bisa cuek kalau orang menuduh kamu playboy cap duren tiga atau apalah. Tapi coba sesekali kamu menghargai orang yang mencintai kamu sungguh-sungguh. Banyak gadis-gadis itu yang begitu.”

“Aku nggak tahu harus ngomong apa. Juga nggak tahu kenapa kamu ngomong begini sama aku.”

“Karena kamu sahabat saya. Saya nggak pengen kamu menyia-nyiakan begitu banyak kesempatan. Saya juga perempuan, tahu gimana rasanya sakit. Gimana rasanya cemburu.”

Dia menunduk. Saya menunduk. Ada perasaan lega setelah mengungkapkan semua.

“Alya cemburu sama kamu.” Kata saya akhirnya.

Dia mendongak cepat menatap saya yang juga menatapnya.

“Dia cerita sama kamu?”

“Dia sering sms sama saya.”

“Tahu dari mana nomer kamu?”

“Katanya lihat di hpmu.”

“Terus, kenapa dia cemburu?”

“Itulah kamu,” saya mendesah. “Gak pernah sensitif sama perasaan perempuan. Dia cemburu karena kamu suka nyeritain cewek cantik yang kamu temuin atau kamu kagumi. Bahkan katanya kamu sering godain cewek di depannya. Kadang-kadang saya mikir kamu nggak waras tau!”

“Kenapa dia nggak bilang?”

“Takut dikira posesif.”

“Oh God.”

“Dia bukan yang pertama.”

“Maksud kamu?”

“Banyak pacarmu yang datang ke saya dan ngadu soal tingkah laku kamu dan minta saya nasehatin kamu.”

“Kenapa kamu nggak ngomong.”

“Saya nggak merasa berhak aja.”

Bohong! tolak hati saya. Sebab saya sakit hati dengan semua pengaduan yang datang. Di depan cewek-cewek itu saya bilang kamu memang cuek. Saya bilang mereka harus sabar menghadapi kamu sambil dengan bahasa halus menghasut supaya mereka putus asa mencintaimu. Dengan begitu kalian bisa putus dan saya senang kalau kamu nggak punya pacar. Saya memang jahat, Panca. Maafkan saya. Makanya saya nggak pernah bilang sama kamu. Hari ini saya mau menebus semuanya.

“Serius apa enggak dengan cewek, harusnya kamu tetap harus jaga perasaan orang. Pacaran itu kan nggak searah. Kita nggak boleh egois dong.”

“Kamu emang sahabat terbaikku.” Katanya menggenggam tanganku.

Malam ini kami habiskan dengan menyusuri jalan-jalan yang pernah kami lalui.

***

Dia masih menggenggam tangan saya, di bangku ruang tunggu bandara ini. Dia bilang sudah memikirkan percakapan soal tadi malam. Bukan percakapan persisnya. Repetan saya soal hubungan dengan gadis-gadisnya.

Ponsel saya berbunyi. Saya melihat nama Alya ada di sana. Saya mengangkatnya dan membawanya ke toilet sebab ruangan itu begitu riuh.

Melalui telepon, gadis itu mengatakan bahwa Panca datang sama dia setelah di pulang dari hotel menemui saya. Katanya, Panca meminta maaf kalau selama ini sering melukainya dengan membuatnya cemburu. Panca berjanji akan berubah. Tone suara gadis itu terdengar ceria, seperti balon gas yang baru saja diterbangkan. Ringan. Hati saya yang meleleh seperti kerupuk yang dimasukkan ke dalam sup panas. Maka saya hanya menggigit bibir. Kebahagiaannya melukai saya. Kebahagiaan yang saya ciptakan untuknya. Seperti menusuk pisau ke jantung sendiri.

Saat akan boarding, Panca memeluk tubuh saya, menenggelamkan kepala saya pada dadanya. Inilah saat yang paling saya suka sekaligus saya benci. Saat yang begitu membahagiakan sekaligus menyayat hati saya. Tetapi tubuh saya barangkali sudah begitu kebal terhadap sakit, sudah terlalu fasih menahan air mata supaya tidak turun hingga dia hanya jatuh ke dalam. Melukai dari dalam.
Hati saya sesak. Dada saya sesak.

Saya segera melepaskan pelukan sebelum saya benar-benar jatuh. Melangkah terburu-buru menuju pintu keluar yang disambut senyum ramah oleh penjaga pintu. Sambil berjalan, saya menelepon Cahaya. Tak ada jawaban.

Saya harusnya sadar dengan apa yang dikatakan Cahaya benar adanya. Saya memang nggak akan kuat terus-terusan menyiksa diri begini. Saya sudah terlalu banyak melukai diri sendiri dengan tetap diam, menyimpan perasaan dalam-dalam. Tetapi, barangkali sakit yang saya ciptakan itu adalah permintaan tubuh yang begitu rapuh ini. Barangkali itulah kebahagiaan saya. Menderita oleh cemburu yang tak akan habis. Menyiksa diri sendiri.

Begitu duduk di dalam pesawat, sebelum saya buat "mode airplane", ponsel saya berbunyi. Cahaya.

“Maaf tadi waktu elo call gue lagi di belakang. HP-nya gue taruh di kamar. Ada apa?” Tanyanya di seberang.

Saya diam, menahan sesak dan sakit yang menggempur hati saya. Serupa seribu sembilu diiris pada tubuh saya.

“Laras?” Suara Cahaya memastikan suara saya.

“Ya?” Jawab saya lemas.

“Kenapa? Ada apa Laras?”

“Ajari aku gimana caranya nangis.”


***

Biola Tanpa Dawai ; Cerpen Tentang Cinta Tak Sampai

$
0
0
Salam. Kembali coba bikin cerpen yang masih bertema tentang cinta. Ini merupakan cerpen lama saya. Cerpen cinta yang bercerita tentang cerpen cinta yang tak kesampaian, cinta tak terbalas, dan juga masuk dalam cerpen cinta diam-diam. Cerpen tentang cinta pertama.

Berikut Cerpen lengkapnya:


Biola Tanpa Dawai
Oleh : Wirasatriaji

Bagi remaja yang berjiwa muda penuh cinta, malam minggu adalah malam yang paling dinanti. Bagiku? sudah bisa ditebak. Tak ada bedanya dengan malam lainnya. Paling besok adalah hari mencuci pakaian dan membersihkan kamar. Tak ada yang istimewa. Sebab aku juga malas terjebak dalam tradisi yang akhirnya melahirkan sentimentil memuakkan juga penderitaan.

Sepulang dari studio musik, aku menuju mall guna mencari kemeja demi pementasan musik pekan depan. Lagipula menurut iklan radio, Department Store ini sedang mengadakan diskon 70% plus 20%. Lupa bahwa ini malam minggu, membuatku sedikit shock ketika memasuki lantai dasar yang penuh sesak. Orangtua yang menggandeng anak-anaknya, muda-mudi yang sibuk bergandengan mesra, juga remaja tanggung yang banyak bergerombol dengan dandanan menohok pandangan. Seketika aku merasa gerah meskipun ruangan sejuk. Lalu kuputuskan memasuki sebuah toko buku setelah menimbang hanya toko itu yang cukup lega dengan beberapa nafas yang hinggap di sana.
Aku berjalan memutari rak buku yang tetata rapi. Memasang earphone pada kedua daun telinga. Suara milik Ayu tingting dengan alamat palsunya seketika memenuhi rongga dengarku. Kunikmati alunan musik dangdut dengan anggukan-anggukan kecil sambil memandangi deretan buku yang tersusun. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika pandanganku menemukan sebuah buku dengan warna sampul dominan abu-abu.  Sebuah gambar sampul buku yang membenturkanku pada kenangan ketika aku masih terbalut putih abu-abu. Selarik kenangan yang mungkin juga abu-abu. Sebab putih tidak, hitampun lain.

Keisya, kamu dimana sekarang? aku rindu teduh matamu, desah batinku sembari mengangkat buku untuk memisahkannya dari barisan buku lain. Benakku seketika biru, melilit imajinasi fragmen cinta. Slide-slide kenangan memutar setiap adegan yang tergambar ribuan hal. Ada kekeh panjangnya, bahak lebarnya, tawa renyahnya, juga senyum manjanya. Rasanya aku harus menyiapkan pincuk daun untuk menampung serpihan kisah tertindih yang terlahir dari masa itu. Dia yang dulu duduk di bangku belakang sebelah kanan dariku, hanya mampu kupandangi diam-diam. Seperti pencuri, kunikmati tiap kubik senyum yang tercecer. Ada setangkup hasrat untuk membakar sepersekian waktuku demi meliriknya.

Sudah aku pasrahkan mencintainya diam-diam. Terlalu banyak yang harus diperhitungkan untuk merengkuhnya. Hampir semua murid laki-laki satu sekolah menyukainya. Aku juga tak pernah mengobrol dengannya meskipun satu kelas, bahkan selama tiga tahun. Eh, tapi dia sempat bertanya padaku menjelang acara malam perpisahan siswa. Band kamu main ya nanti malam? Ah, kalimat itu masih menggaung jelas di sekat-sekat ingatan. Waktu itu aku hanya mengangguk, lebih tepatnya menunduk. Teduh matanya, tebal alisnya yang berbelok sempurna, wajah bulannya, semuanya terlalu istimewa untuk kusedekahkan pada pandangan mata.

Malamnya seusai aku turun dari panggung, dia melepas pandangan ke arahku. Dengan pertimbangan sedemikian rupa, aku melempar senyum ke arahnya. Seketika itu juga dadaku berdetak tak teratur. Iramanya menjadi tak jelas. Kadang berdegup kencang, kadang sempurna diam. Aku memang mampu menguasai panggung saat menggebug drum di atas pentas, tapi tidak di teduh matanya. Hanya senyuman yang mampu kuisyaratkan. Aku sangat berharap waktu itu dia mampu menanggapi apa yang kuisyaratkan, sekalipun mungkin hanya mengedipkan mata satu kali kearahku yang kaku di ujung tangga panggung.

Dan besoknya aku tak lagi melihatnya, tak lagi satu kelas, tetapi barangkali ini yang terbaik. Mencintainya diam-diam. Bahkan anginpun tak perlu tahu. Biarlah berhembus sesuai arahnya. Tak perlu merekayasa, biarlah seperti adanya. Seperti halnya perasaan ini yang kubiarkan tetap ada.
Aku menghela nafas. Menaruh kembali buku ke tempat semula. Mengembalikan kesadaran akan realitas yang sesungguhnya.

"Rama... " sebuah suara mengurungkan gerak kaki yang hampir kulangkahkan.

"Keisya?" bibirku tak sempat mengatup. Sedikit shock mendapati sosoknya nyata di hadapanku.

"Hei, masih ingat aku?" senyumnya mengembang sempurna.

"Masih," jawabku singkat. Bodoh, aku kangen kamu.

Kujatuhkan pandangan pada setumpuk buku usai menurunkan earphone yang dari tadi memampat telinga. Memberi peluang pada keheningan diantara sampul buku yang membisu.

"Kamu belum berubah, masih pendiam," hening pecah oleh ucap Keisya.

"Kamu juga, masih tetap cantik," balasku datar. Aku tak mampu memunculkan kegembiran. Hanya menyembul di empat sudut hati. Seolah bening kembali setelah empat tahun kekaguman itu mengurung diri.

"Sendirian?" tanyanya.

Aku mengangguk, "kamu?"

"Bareng keluarga," jawabnya singkat. Aku mengerutkan dahi. Bareng keluarga? bukankah ini malam minggu? bukankah harusnya dia bersama kekasihnya? apakah dia belum punya pacar? Ataukah ini takdir Tuhan untuk sebuah awalan indah? Arrrgh... ribuan pertanyaan seketika melesat memenuhi tempurung kepala. Mungkin ini jawaban atas bait-bait do'aku, pikirku. Empat tahun lamanya tak mampu kuusir bayang gadis pemilik senyum manis ini. Nyatanya setiap aku bertanya pada hati, jawabannya selalu sama, dia tak tergantikan.

"Ama... Ulan ama...(Mama... Pulang mama...) " suara anak kecil yang sedang digendong laki-laki bertubuh besar menuju ke arah kami.

"Aku pulang dulu ya? itu anak dan suamiku sudah menunggu," ucapnya sambil melambai ke arahku. Sejurus kemudian menghilang diantara sesak pengunjung mall.

Jari-jari merunduk lemas. Perih di ulu hati, namun tak menetes darah. Cinta itu serupa biola tanpa dawai. Ya, biola itu tak akan berbunyi, sebab tak ada dawai yang bisa dipetik, ia tetap diam. Diam dalam kematian yang sempurna. Maka, aku menanggung kegelisahan hati. Lalu sedetik kemudian aku berhasil tertawa, sebab menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa untuknya.

 cinta yang tak kesampaian


Aku pulang dan berharap menemukan kegembiraan lain di sepanjang jalan. Tidak jadi membeli kemeja karena sudah hilang selera. Sepanjang jalan aku bersenandung dalam hati, entah lagu apa. Keisya memang tidak salah, aku yang mencinta. Sepihak. Cinta pertamaku yang tak pernah tersampaikan. Kutatap langit yang sepertinya makin pudar, lalu menangis dalam hati.

Watermark untuk Foto dan Gambar

$
0
0
Semakin berkembangnya teknologi informasi memungkinkan segala sesuatunya tanpa batas.  Kecanggihan teknologi semakin mempermudah manusia untuk menciptakan sesuatu dengan cepat, efektif dan efisien. Berkembangnya teknologi dan mduahnya akses informaasi melalui internet menggiring banyak pihak untuk berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya di dunia cyber untuk menunjukkan hal untuk mencapai tujuannya.

Salah satu masalah yang terjadi saat ini adalah banyaknya pihak yang mengambil foto atau gambar dari pihak lain untuk dijadikan ladang bisnis atau bahkan ajang penipuan yang mengatasnamakan seseorang. Pentingnya hak cipta perlu ditonjolkan agar seseorang ingat akan hasil karya dan menghargai originalitas karya. Foto atau gambar misalnya, untuk memuluskan suatu bisnis, banyak orang yang mengambil gambar orang lain yang dicari melalui mesin pencari (google, yahoo, dll) untuk diunduh lalu diunggah ulang pada website atau toko onlinenya.

Lalu bagaimana cara mencegahnya? secara dasar sebenarnya yang perlu dibenahi adalah mental dasar dari para pelaku ini. Tapi ada cara untuk sekedar mengingatkan agar foto tidak gampang diambil oleh orang dan dipergunakan untuk sesuatu yang komersil atau bahkan untuk menipu. Cara yang saat ini paling efektif menurut saya adalah watermark gambar. Berikan watermark gambar agar tidak diambil orang, sekalipun diambil sumbernya masih tetap terbaca.

Apakah Watermark merusak keindahan fotografi? watermark biasanya digunakan untuk media pendukung informasi atau promosi barang sehingga nilai atau unsur keindahan menjadi nomor 2 karena tujuan utama penyampaian informasi yang disertai gambar bisa diterima oleh pembaca, atau agar barang yang dipromosikan bisa meyakinkan calon pembeli jika menggunakan foto yang asli, bukan gambar ilustrasi. Jika foto tersebut tidak diberikan watermark bsia saja diambil oleh pesaing kita untuk mempromosikan barangnya.

Berikut Beberapa Contoh Watermark untuk Foto dan Gambar

Watermark alamat situs

Watermark Dengan Logo

Watermark Logo dan Nama

Watermark Model Stempel


Bila anda kesulitan dengan pembuatan watermark untuk usaha promosi anda, kami siap membantu.

Jasa Pembuatan Watermark

Kami membuat watermark secara manual sehingga anda bebas memilih tentang peletakan watermark, ukuran, jenis, bahkan warna bisa anda sesuaikan seperti misalnya dengan gaya stempel. Dengan harga relatif murah anda bisa melindungi foto produk anda dari pihak yang tidak bertanggungjawab dan menjaga persaingan terhadap kompetitor anda.


BBM Pin : 54C3F026
Facebook : Ali Sakit Wirasatriaji
Call and SMS: +6285 642 535 866 (also WhatsApp, Line)
Mail : contact@alisakit.com

.

Pentingnya Desain Cover Buku

$
0
0
Meskipun ada pepatah bilang Don't judge a book by its cover, tetapi nyatanya Desain Cover Buku sangat penting dalam menentukan minat dari para calon pembaca untuk buku tersebut. Isi dalam sebuah buku merupakan hal kesekian bagi setiap orang dalam menentukan membeli buku. Hal yang paling penting adalah Desain Cover Buku dan Sinopsis yang menggugah. Agar sinopsis atau Bulb yang ada di belakang cover sebuah buku, tentunya harus ada rasa ketertarikan dari mata calon pembeli buku unutk meraih buku tersebut. Secara tidak langsung desain sampul buku merupakan hal pertama yang menentukan sebuah buku diambil atau diraih oleh tangan-tangan calon pembaca untuk dilihat dan dibeli.

Desain Cover Buku yang baik akan memperhatikan setiap aspek grafis. Mulai dari kesan yang timbul, warna dominan, objek yang digunakan, jenis dan bentuk huruf, hingga ornamen lain sebagai pendukung maksud dan tujuan agar sebuah cover buku mampu memberikan gambaran isi buku yang menarik bagi calon pembaca. Dalam sebuah buku, bila desain asal-asalan atau tidak tepat menggambarkan isi, tentu akan membuat pembaca kecewa dan tidak akan membeli lagi buku dari penulis yang sama.

Jasa Desain Cover Buku


Semakin menarik desain cover buku, semakin besar peluang dilirik oleh calon pembeli buku. Cover buku adalah senjata utama untuk memasarkan. Tak ubahnya sebuah produk makanan misalnya yang mendesain kemasan sedemikian rupa agar menarik, begitu juga sebuah buku. Gambar atau objek yang ada di cover sebuah buku akan mampu menyampaikan ribuan bahasa bagi yang melihatnya, untuk itulah mengapa desain cover buku harus benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan target pembaca yang dibidik.

Jasa Desain Cover Buku


Desain Cover buku juga merupakan salah satu cara menunjukkan genre atau aliran sebuah buku. Buku Novel misalnya, tentu akan berbeda konsep dan desain covernya dengan buku pengembangan diri. Buku Teenlite pun tentu akan berbeda dengan buku sastra.

Desain cover buku yang tepat akan menampilkan kesan professional dari aspek grafis yang benar-benar dipertimbangkan secara detail. Jadi, dalam membuat buku jangan menganggap remeh sebuah desain cover buku, sebab penentu utama dalam keberhasilan penjualan buku anda.

Carilah desainer grafis untuk cover buku yang benar-benar profesional dan terpercaya.

Jasa Desain Cover Buku


Untuk Jasa Desain Cover Buku, kami sudah terbiasa menangani pesanan Desain Cover buku baik buku fiksi seperti Novel, Novelet, Buku Kumpulan Cerpen, Kumpulan Puisi, atau ilustrasi buku untuk anak. Juga Untuk Cover Buku Non Fiksi seperti Buku  Biografi, Buku Penelitian, Buku Tips dan Trik, dan lain-lain.

Kami juga menerima desain layout buku dengan harga yang relatif murah. Karena kami bukan tim(perorangan), layanan desain cover dan layout buku dari kami memungkinkan biaya desain yang paling minim.

Desain Sampul Buku/Cover Buku buatan kami tergolong murah. Berkisar antara 100 - 800 ribu sesuai dengan keinginan dan target pasar untuk buku anda. Kami akan memberikan beberapa pilihan desain dengan revisi tanpa batas. Pengerjaan antara 3-5 hari.

Selengkapnya tentang service layanan ini anda bisa lihat di halaman : Jasa Desain Cover Buku.


Alasan Mengapa Naik Pesawat Saat Traveling Itu Lebih Murah dan Efektif

$
0
0
Saat menyusun itinerary untuk Traveling, seringkali memilih alat transportasi menuju tempat wisata menjadi hal yang membingungkan. Tidak jarang harus berpikiri beberapa kali untuk benar-benar bisa menentukan harus menggunakan transportasi apa untuk menujut tempat wisata yang diinginkan. Bahkan, terkadang harus memutar otak jika ongkos untuk transportasi tidak sesuai dengan budget yang tersedia sehingga memotong budget untuk keperluan lain.

Fenomena ini sering kali dirasakan oleh traveler yang berniat menghemat biaya selama liburan sehingga seringkali mengabaikan pesawat sebagai alat transportasi yang ingin digunakan. Selalu mendahulukan kereta atau bis dengan alasan tiket pesawat itu mahal. Padahal tidak selalu tiket pesawat lebih mahal dibanding dengan tiket kereta atau bus jika dicermati dengan baik.

Alasan Mengapa Naik Pesawat Saat Traveling Itu Lebih Murah dan Efektif


Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa naik pesawat saat traveling itu lebih murah dan efektif, simak yuk!


1. Pesawat Mampu Menjangkau Pelosok

Salah satu hal mengapa naik pesawat itu lebih murah dan efektif adalah karena fleksibilitas dari pesawat yang mampu menjangkau pelosok. Contohnya jika ingin ke salah satu kepulauan yang eksotis dan indah di Berau, Kepulauan Derawan.

Tujuan pertama untuk ke Kepulauan Derawan di Berau adalah Balikpapan. Jika dari Jakarta ke Balikpapan menggunakan transportasi darat jarak yang harus ditempuh sekitar 2300 Kilometer, bayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan dan biaya akan membengkak, bensin, konsumsi, parkir, dan biaya lainnya tak mungkin bisa dihindarkan.

Sekarang coba kita bandingkan dengan pesawat, jika menggunakan perjalanan udara dengan Citilink, biaya tiket yang harus dikeluarkan sekitar 500ribuan tanpa harus mengeluarkan biaya untuk konsumsi, parkir, dan lain-lain. Kemudian dari Balikpapan menuju Kepulauan Derawan Jika menggunakan transportasi darat butuh sekitar 12 jam dengan jarak 563 Kilometer. Untuk bensin saja 400 ribuan habis belum lagi biaya lainnya.

Jika menggunakan pesawat menuju Kepulauan Derawan (Berau) kamu hanya perlu mengeluarkan biaya 500 ribu tanpa harus memikirkan bensin, konsumsi, parkir, biaya supir dan lain-lain. Lebih murah dan efektif tentunya!

Mengapa bisa dikatakan lebih murah? Karena prinsip dalam traveling adalah time is money.  Jika menemukan waktu yang tepat saja sulit, lalu relakah mengorbankan waktu yang begitu berharga ini dengan menghabiskan waktu diperjalanan? Think smart!
perjalanan udara dengan Citilink
Sumber : djogjasumberberita.com

2. Naik Pesawat = Banyak Tempat Wisata dan Lebih Manfaat

Alasan selanjutnya mengapa naik pesawat saat traveling itu lebih murah dan efektif adalah,  karena naik pesawat dapat menjangkau tempat wisata lebih banyak dan lebih banyak manfaat yang didapat dibandingkan dengan banyak waktu habis di perjalanan.  Logikanya jika naik pesawat dapat menghemat waktu perjalanan 8 jam (missal) maka dengan waktu 8 jam itu dapat mengunjungi tempat wisata minimal 2 tempat. So, masih mau bilang naik pesawat itu lebih mahal?


3. Banyak Promo

Jika pertimbangan tidak naik pesawat adalah karena harga, mungkin perlu lebih cermat untuk bisa dapat harga tiket murah atau promo dari maskapai.  Sebenarnya hampir setiap bulan ada saja promo yang diberikan maskapai atau Online Travel Agent (OTA). Terlebih jika sudah bergabung menjadi member di OTA atau maskapai, biasanya mereka memberikan private pricing kepada member yang loyal dan sering bertransaksi.

So, sering-sering deh pantai situs maskapai atau OTA, jangan sampai promo atau diskon terlewatkan! Atau sekarang juga bisa pesan tiket dengan cara online via smartphone. Tinggal download aplikasinya, bahkan seringkali harga tiket pesawat di mobile apps lebih murah dibanding dengan di website.
Sumber : yldist.com

4. Naik Pesawat Lebih Aman

Alasan lainnya mengapa naik pesawat saat traveling itu lebih murah dan efektif adalah karena keamanan. Jika sudah berbicara keamanan dan keselamatan maka tak ternilai harganya. Menuru data dari KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) pada tahun 2014, tingkat rasio kecelakaan pesawat hanya 0,76 persen, sedangkan mobil atau motor sekitar 5 persen.  Tinggal memilih maskapai mana yang terpercaya.
perjalanan udara dengan Citilink
Sumber : merdeka.com

Selain itu Barang bawaan yang ditaruh di bagasi pesawat juga lebih aman dan terjamin. Jika ada kehilangan maka pihak maskapai pesawat yang mengganti.

Itulah 4 alasan mengapa naik pesawat saat traveling itu lebih murah dan efektif, tinggal  bagaimana penyikapan dan mindset kita saja, good bye!




Untuk Putraku yang Terlahir

$
0
0
Kukatakan padamu, nak, aku sudah merindukanmu bahkan sebelum paru-parumu memompa udara ke dalam darah yang mengalir di pembuluh. Seperti air jernih di sungai-sungai Kalimantan dan Sumatera beratus-ratus tahun lalu, menelusupi kelok-kelok ceruk diantara pohon-pohon yang menjadi tua dan bijaksana melihat cucu mereka tumbuh menyerupainya.

Pada hari kelahiranmu, aku berdiri tenang dengan sebuah kamera video di samping perempuan yang padanya kutaruh perasaan cinta yang begitu dalam. Aku telah merekam tangis pertamamu, juga kurekam ketika aku memperdengarkan suara azan di telingamu untuk pertama kali. Kelak, aku akan terus merekam setiap tangis dan tawamu sampai kamu siap untuk pergi meninggalkanku kelak bersama pengantinmu.

Setiap pagi datang dengan cahaya hangat yang jatuh di pohon dan rumput, aku akan menggendong tubuh telanjangmu, lalu pergi ke halaman belakang rumah kecil yang sudah kusiapkan untuk kita, duduk di sebuah kursi kayu, mendekapmu, membiarkan tubuh kita disiram cahaya yang terus naik. Sebelum horizon menjadi merah, kubasuh tubuhmu dengan air hangat, setelahnya membaluti tubuhmu dengan wewangian dan pakaian dari kain paling halus di muka bumi ini. Ketika malam tiba, kudendangkan dalam gumaman senandung penghiburan. Kalau malam menjadi dingin dan beku, kurangkul tubuh mungilmu yang indah. Tangan dengan jejari yang begitu manis, bibir merah jambu dan matamu yang hitam. Kuusap setiap senti rambutmu dan meletakkan bibirku di telingamu dan mengucapkan ‘meski semua tidak akan baik-baik saja, tetapi kita akan melaluinya’.

Suatu akhir pekan yang cerah dan hangat di masa kamu sedang belajar berdiri, aku akan membawamu dalam pelukanku melihat dunia. Barangkali kita pergi melihat pameran fotografi di sebuah gallery, atau ke pameran tetumbuhan yang akan kita bawa pulang untuk taman rumah kecil kita. Atau barangkali ke toko buku yang sejuk dan hening dimana kamu bisa melihat betapa luasnya dunia dari kata-kata, dan gambar-gambar yang tersimpan rapi dalam bungkus plastik.

Kalau kita kebetulan bertemu dengan kawan, atau orang asing yang kagum dengan ketampanan yang kamu warisi dariku, akan kukatakan dalam kebanggaan yang sempurna ‘ini anak lelakiku’.

Ketika waktunya tiba, akan kulepaskan kau berlarian di lapangan dengan malaikat-malaikat kecil lain. Ada atau tidak aku di pinggir lapangan, percayalah, aku akan selalu memperhatikan setiap gerakmu. Aku akan hapal caramu berlari mengejar bola atau caramu naik sepeda, juga rupamu ketika tidur.

Bila waktunya tiba, ketika kau menjadi besar, malam sebelum kau pergi ke pelaminan dengan kekasih pilihanmu, akan kuceritakan kenapa aku menamaimu 'Karami'

Selamat Tahun Baru, Kawan

$
0
0
alisakit.com - Jangan marah padaku karena terlalu sinis. Maka, tanggal 31 Desember, dengan perasaan berkabung, saya terjebak di jalanan yang macet sepulang kerja. Kendaraan yang tumpah ruah menuju pusat kota. Orang-orang bergerombol membunyikan terompet yang bising. Pengendara kendaraan roda dua sibuk membikin kuping pekak dengan menggeber suara motornya. Bus kota juga dengan kurang ajar menurunkan penumpang seenaknya sebelum rute yang seharusnya dilalui.

Kenyataannya, saya dihadapkan pada sebuah ironi. Kita melalui pukul 12 malam dengan tawa meriah, ciuman di pipi, di bibir, sementara jutaan orang lain di sana sedang menangis kehilangan keluarga.

Selamat Tahun Baru


Sepanjang jalan menembus arus manusia menuju tempat kos, saya melihat orang tua menggendong anaknya yang dipaksa melek untuk diajarkan bagaimana menjadi bagian dari kapitalis, mengikuti sebuah ritual yang sama sekali mereka sendiri tidak bisa memaknai selain pesta, pesta dan pesta. Adakah dari mereka menyadari apa makna tahun baru? Atau sekedar bertanya, memangnya kalau tidur di malam tahun baru terus kenapa? Tahun tetap berganti kan?

Sekali lagi, jangan marah padaku karena terlalu sinis. Sebab saya memang sudah cukup lama menyadari bahwa ritual serupa tahun baru hanyalah kerjaan kapitalis yang mencari untung dengan membesar-besarkan sesuatu. Bahkan ibadah Puasa saja sudah jadi semacam ritual yang tidak bermakna. Pesta buka puasa dibuat di kafe dan di pinggir jalan, tetapi melupakan sesuatu yang lebih penting dari puasa, yang tanpanya puasa jadi tidak bermakna; salat.

Kita sudah kehilangan esensi, kawan. Adakah makna tahun baru selain membuat resolusi yang seminggu kemudian kita sudah lupa untuk menjalankannya?

Tidak ada yang benar dan salah dalam persoalan ini, sebab kalau dipaksa takut dituduh melanggar hak asasi manusia. Tidak salah kok kalau kita mau berpesta, toh duit sendiri, badan sendiri juga. Ini hanya persoalan ‘sense’. Soal selera. Soal kepekaan. Semua serba relatif.

Selamat Tahun Baru, Kawan.

TV Panasonic Memberikan Kepuasan Bagi Kita

$
0
0
Dengan banyak televisi manusia mulai dari orang pelosok hingga orang kota bisa mendapatkan informasi yang tak terbatas selama 24 jam ada informasi yang berbentuk hiburan, ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya bisa didapatkan. di sisi lain perkembangan yang ada pada televisi ini bisa kita lihat mulai dari adanya tv tabung, plasma hingga adanya TV LED yang sebagian besar sudah bisa di nikmati oleh masyarakat dengan mudah. harga TV yang berbeda - beda dari jenis tv tersebut tentu saja akan berdampak pada kenyamanan penikmatnya atau pemakainya sehingga kemudian akan terasa secara tidak langsung terhadap kemampuan ekonomi dari masyarakat itu sendiri.

 TV Merk Panasonic

Harga TV Panasonis

Sebagaimana kita ketahui bahwasannya negara Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya adalah mayoritas ber - tipe konsumtif sehingga apabila anda produk - produk yang baru bermunculan di pasaran ini tidaklah akan sulit untuk terjual dengan waktu yang lama apalagi manfaatnya sudah benar - benar bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. salah satu yang menjadi tolak ukur pada tipe masyarakat di Indonesia ini adalah lagunya atau terjualnya televisi televisi yang ada di pasaran termasuk televisi beserta dari perusahaan Panasonic. dengan harga TV Panasonic ini berkisar tidak lebih dan tidak kurang bisa di jangkau oleh masyarakat pada umumnya sehingga apabila saat ini anda sedang mencari televisi baik itu lcd atau LED produk Panasonic sangat tepat untuk Anda jadikan sebagai referensi atau televisi yang pas untuk di bawa ke rumah anda.

Tentu saja semua produsen yang memproduksi televisi mengutamakan kualitas dan keunggulan nya masing asing Tetapi yang perlu Anda ketahui terhadap produksi dari Panasonic ini adalah bisa mendapatkan kenyamanan dan kualitas yang tinggi serta bisa di jangkau oleh masyarakat. dan untuk mendapatkannya tentulah tidak sangat sulit bagi kita apalagi saat ini kita bisa dengan mudah memesannya melalui internet karena sudah banyak sekali masyarakat sekarang memesan produk produk melalui internet di handphonenya. 

Lelaki Masa Lalu ; Cerpen Tentang Perselingkuhan

$
0
0
alisakit.com - Saya kangen menulis cerpen lagi. Sayangnya belum bsia membuahkan satu cerpenpun. Tak apalah, saya mau coba posting cerpen lama saya yang semoga masih sesuai dengan jaman sekarang yang serba sosial media.

Cerpen tentang lelaki masa lalu ini sebenarnya sudah saya tulis sejak tahun 2011 lalu, tapi memang proses penggarapannya ogah-ogahan. Cerpen ini bercerita tentang seorang wanita yang mencintai laki-laki dan hingga laki-laki itu memiliki istri, cintanya tak pernah pudar sedikitpun.

Cerpen tentang tak bisa melupakan mantan, mungkin ini yang tepat kalau kata anak jaman sekarang. Bisa dibilang juga ini adalah cerpen tentang selingkuh karena tokoh didalamnya merupakan tokoh yang sudah  berkeluarga. Silakan menikmati bacaan cerpen kali ini :

Lelaki Masa Lalu

Oleh : Wirasatriaji

Senja perlahan memasuki gerbang malam. Menjanjikan lentera diantara kelamnya bagi jiwa-jiwa pemimpi. Seorang wanita muda berdiri di sebuah halte. Ingin menumpahkan airmata, sulit terasa. Seakan kering. Hanya sesekali mengusap kening anak lelaki yang terlelap dalam dekapannya karena lelah seharian menemaninya menyusuri kota.

Kembali wanita itu melirik jam di pergelangan. Jam tangan tua murahan hadiah lelaki yang pernah menidurinya dan katanya mencintainya. Sudah lebih dari sejam ia menunggu lelaki itu. Mahmud, lelaki masa silam yang sekarang sudah beristri orang. Dipandanginya anak lelaki dalam dekapan. Mengusap kembali keringat yang membanjir di kening buah hatinya. Ini nafasku, bisik lirih hatinya.

Dalam angannya tergambar betapa penderitaan telah dia rasakan. Ketika harus terusir dari keluarga dan melahirkan bayi tanpa suami. Beruntung bu Karti, seorang janda tua yang tinggal di belakang pabrik teh ujung jalan itu mau menampungnya. Kala itu hujan deras mengetuk nurani bu Karti untuk menolong wanita hamil yang berteduh di pojok pagar pabrik. Hingga sekarang, Siti masih bersamanya. Menganggap wanita tua itu adalah ibunya, begitu juga sebaliknya.

Cerpen Tentang Perselingkuhan


Senja yang benar-benar lenyap menyambut sebuah mobil sedan hitam yang mengkilap menepi tak jauh dari halte. Untuk keempat kalinya menjanjikan pertemuan, baru kali ini Mahmud menepatinya. Dan tentu dengan keterlambatan. Siti menghampirinya dengan tergesa-gesa untuk kemudian masuk ke dalam mobil.

Malam masih muda memayungi mobil yang melaju perlahan. Membawa wanita muda yang terduduk manis di kursi depan. Tatapnya masih dipenuhi kepahitan.

"Sudah kau batalkan keberangkatanmu jadi TKW, Ti?" tanya mahmud, lelaki berparas penuh wibawa di belakang kemudi.

"Aku masih ragu mas, aku takut melakukan kesalahan lagi. Ini demi masa depan Wahyu. Lagipula, mumpung dapat penempatan di Malaysia, " jawab lirih Siti.

"Kesalahan yang bagaimana maksud kamu? Kan aku sudah bilang, kalau masalah uang jangan kuatirkan. Semua biaya hidup kalian dan sekolah Wahyu biar aku yang akan menanggung. Kamu..." nada Mahmud meninggi.

“Jangan mas! aku tidak mau merusak rumah tangga orang,” potong Siti.

"Tolonglah Ti, beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku tahu aku salah."

"Tidak ada yang perlu diperbaiki, mas. Sekarang aku sudah cukup puas kok, melihat Wahyu bertemu bapaknya."

Sejenak keheningan menyeruak diantara alunan musik Jazz dari tape mobil.

"Ti, biarkan Wahyu kuadopsi."

Siti tergelak, "jangan gila kamu mas!"

"Istriku mandul, Ti" desah lirih Mahmud.

"Itu bukan urusanku," Siti menjawab dengan dingin.

"Maafkan aku, Ti. Selama ini belum bisa menghubungi atau mengangkat teleponmu. Istriku sekarang sering ke kantorku."

Siti memaku, memberi peluang lebih dalam pada diam. Buah hatinya tetap lelap dalam dekapnya.
Keduanya terdiam sampai mobil yang mereka tumpangi memasuki parkiran sebuah penginapan.

"Mau apa kita kesini, mas?" tanya Siti sepertinya tak hendak turun saat mobil telah terparkir.

"Ayolah, kita perlu bicara, Ti. Supaya masalah ini cepat selesai. Di sini lebih tenang. Kuharap kita bisa berpikiran jernih menghadapi ini."

Mahmud keluar dari mobil diikuti Siti. Mereka berjalan bersisian menuju lobby hotel.

***

Siti mematung di tepi Sping Bed bercorak kembang sepatu. Tatapnya kosong ke arah luar jendela, memandangi kedip bintang yang tak sempurna sinarnya. Mahmud baru saja keluar dari kamar mandi dengan terbalut lilitan handuk.

"Kamu nggak mandi?" tanya Mahmud.

Wanita itu tetap diam tak bergeming.

"Siti..."  Mahmud mendekat dan memegang punggung perempuan itu, "tolong jangan bikin semuanya jadi lebih sulit dengan diammu” lanjutnya.

Siti menoleh, "mungkin mas bisa berpikir untuk merubah sesuatu dengan gampang sesuai kehendak, tapi mas tidak pernah tahu apa yang sudah kuperjuangkan untuk hidup."

"Justru karena itu aku ingin menebusnya sekarang," potong Mahmud.

"Dengan mengadopsi Wahyu? merebut apa yang sudah kuperjuangkan? Atau dengan cara menghidupi kami secara ilegal? Tidak, mas. Aku tetap akan ke luar negeri.”

“Jangan keras kepala kamu Ti!” bentak Mahmud.

“Jika aku tidak keras keras kepala, Wahyu tidak akan pernah ada mas...!” suara Siti ikut meninggi.

"Kalau mas menginginkan Wahyu, mas harus mengawiniku secara resmi. Menikah! Dan aku bersedia batal berangkat ke Malaysia," lanjutnya dengan tertunduk.

"Kamu gila, Ti, itu nggak mungkin."

"Meskipun miskin, tapi aku masih boleh punya harga diri kan, mas? aku nggak ingin nanti anakku bertanya-tanya, Ibu dapat uang dari mana? Biaya sekolah dari mana? Jadi biarkan aku hidup sesuai kehendakku. Karena, setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi, mas. Aku datang hanya mengantarkan Wahyu melihat bapaknya. Itu saja."

Mahmud terdiam. Hening seketika mengepung dua insan.

"Baik, aku akan menikahimu kalau itu yang kamu inginkan, kalau itu bisa membuatmu tetap tinggal disini."

Seketika perempuan itu menoleh dengan kaget. Dia sama sekali tidak menyangka Mahmud akan bicara seperti itu.

“Mas! itu tidak mudah,” Siti berkomentar.

"Mungkin dengan menikahimu, aku bisa menebus kesalahan masa laluku. Sudah, kamu mandi sana," pinta Mahmud.

Siti bergegas menuju kamar mandi. Mahmud terdiam, menyandarkan punggungnya di kursi, menatap langit-langit. Meremas-remas rambutnya sendiri.

***

Tetapi malam tetaplah malam. Ia menyimpan sejuta syahwat manusia. Siti duduk di pinggir tempat tidur sambil menonton TV usai mereka makan malam. Mahmud mendekati perempuan itu dan mendekapnya dari belakang. Mengecup ubun-ubunnya. Siti mencoba melepaskan pelukan laki-laki yang masih ia hafal bau tubuhnya. Siti sedikit gemetar, mengenang bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang dicintainya. Dan Mahmud semakin mempererat pelukannya. Mulai mencium leher perempuan itu, membuatnya menggelinjang pelan.

"Mas, jangan..." desah Siti.

Lelaki itu sepertinya sudah dibakar birahi. Dengan sedikit kasar, Mahmud membalikkan tubuh perempuan itu dan mulai mencumbunya habis-habisan. Siti mencoba berontak, antara sebuah kerinduan dan ketakutan. Ia resah, bagaimanapun lelaki itu sudah beristri. Namun akhirnya ia pasrah.

***

"Pikirkan lagi, nduk. Sebelum kamu putuskan untuk membatalkan keberangkatanmu ke Malaysia itu, sebelum nantinya kamu menyesal," saran bu Karti ketika Siti bercerita tenang rencananya.
Suara TV dan radio tetangga terdengar mengalun di sela-sela rumah. Wahyu telah lelap dalam buaian perempuan tua itu.

"Apa lagi yang harus dipikirkan, bu? Mas Mahmud sudah berjanji kok."

"Huh, laki-laki itu..." keluh bu Karti sambil membawa Wahyu masuk ke dalam kamar, membaringkannya dan kembali ke ruang depan menemui Siti. "Apa yang kamu harapkan dari dia? menikahi kamu? Dia sudah beristri. Bukan hal mudah lho mau cerai dan menikahi kamu. Apa ndak kamu pikirkan masa depan Wahyu?"

"Tapi mas Mahmud sudah janji, bu," kembali Siti meyakinkan bu Karti, juga meyakinkan pada dirinya yang sesungguhnya masih ada setangkup keraguan.

"Apa dia dulu juga janji mau menikahi kamu?" tanya wanita tua dengan kerutan di dahi itu.

Siti terdiam. Hatinya tumbuh kebimbangan. Antara harus percaya Mahmud, juga mulai mempertimbangkan apa yang dikatakan bu Karti.

"Katanya dia mau menebus kesalahannya yang dulu, bu. Mas Mahmud juga sudah menunjukkan niat baiknya. Aku ingin mencoba memberi kesempatan, bu.”

"Ya sudah... tapi kamu harus siap atas segala resikonya. Bukan maksud ibu mau nakut-nakutin kamu." nasehat bu Karti.

"Nggih, bu." Siti tersenyum.

***

Seminggu telah berlalu, Siti melangkah menuju sebuah Wartel. Mencoba menghubungi nomor telepon kantor Mahmud, tapi nihil. Hanya alasan beraneka yang didapat dari pegawai yang mengangkat teleponnya. Sudah tiga kali Siti meletakkan gagang telpon di wartel itu dengan gundah, namun ia masih saja mengulang nomor yang sama.

Seminggu, dua minggu, hingga sebulan telah berlalu. Tak pernah sekalipun Siti absen mencoba menghubungi laki-laki yang berjanji padanya. Waktu seakan melangkah lebih cepat. Namun Siti belum juga berhasil berbicara dengan Mahmud. Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi hanya alasan dari penerima telepon yang berarti Mahmud tak mau bicara dengannya.

Tiga bulan terlewat, dan Siti belum menyerah. Dengan sisa-sisa harapan, kembali perempuan itu menghubungi nomor yang setiap harinya tak pernah terlewat itu. Untuk kali ini, entah mimpi apa Siti semalam, Mahmud mengangkat telepon untuknya.

"Mas? jawab dong mas .... ya? .... dimana? .... Jam berapa? .... Oke, aku tunggu mas," suara Siti antusias menggaung dalam bilik Wartel.

***

Siti duduk dengan gelisah di bangku Halte biasa. Halte yang selalu menjadi tempat menunggu lelaki masa lalunya. Berulang kali melirik jam tangan murahan yang dihadiahkan Mahmud waktu dia masih jadi mahasiswa. Lalu lalang kendaraan semakin membuat pikirannya gelisah. Mata perempuan itu semakin jalang menjalari jalan raya di depannya, mengharap mobil yang ditunggunya segera menampakkan pandangnya. Sudah setengah jam lewat dari waktu yang ditentukan, Mahmud belum juga muncul untuk menjemputnya.

Seperempat jam kemudian, seorang anak kecil menghampiri Siti dan memberikan sebuah amplop berwarna putih. Dari seorang lelaki dalam mobil, katanya, dan dia diberi uang sepuluh ribu untuk mengantarkan surat itu kepada Siti. Sebelum Siti sempat bertanya, anak kecil itu sudah berlari menyeberang jalan.

Siti mencoba menenangkan perasaannya yang sibuk menebak-nebak apa isi surat tersebut. Apa yang terjadi? desah hatinya. Perlahan ia membuka lipatan surat itu,

Untuk Siti Cahyaningrum,

Siti, sebelumnya maafkan aku yang tidak bisa menepati janji-janjiku sama kamu dan Wahyu. Aku tidak pernah bermaksud membohongimu. Tidak ada sedikitpun maksud itu. Aku tetap mencintaimu sebagaimana dulu, dan kuharap kaupercaya. Aku mencintai Wahyu sebagaimana anakku. Tapi aku sama sekali tidak punya kuasa untuk meninggalkan istriku. Aku berhutang terlalu banyak sama dia dan keluarganya, Ti. Hutang budi karena telah menyelamatkan keluargaku saat-saat jatuh. Jangan tanyakan apakah aku mencintai Istriku, ini hanya sebuah kewajiban untuk membalas budi baik mereka.

Siti, sekali lagi maafkan aku, kuharap kamu mau mengerti. Istriku sudah mengetahui hubungan kita. Dia punya orang-orang suruhan dimana-mana untuk memata-mataiku. Dia tahu kita pernah bertemu di hotel itu. Dia langsung mengultimatumku, Ti.

Untuk sementara ini aku dipindahkan ke Perusahaan di Jakarta. Kami akan pindah dalam minggu ini. Maafkan aku karena telah mengecewakanmu. Aku tak punya kuasa apa-apa dalam hal ini.
Sampaikan salamku untuk Wahyu. Kalau keadaan sudah membaik, aku usahakan kirim uang ke kamu. Maafkan sekali lagi karena aku kamu telah membatalkan kepergianmu ke Malaysia.
Dari orang yang selalu mencintaimu,

Mahmud

Air mata mengalir pelan, terisak di dadanya. Sakit, namun tak terlihat luka.  Jantung terasa terlepas, hatinya terbakar dan jiwapun menggelepar meratapi perih. Surat dalam genggaman Siti, terjatuh bersama lembaran lain yang sejak tadi dibawanya dari rumah. Secarik kertas terhempas angin lalu masuk dalam kubangan. Selembar surat berkop nama sebuah Klinik Kesehatan. Di bawahnya tertulis nama Siti Cahyaningrum, dengan keterangan positif  hamil.

Mau lanjut baca cerpen? bisa coba baca Cerpen tentang mencintai Sahabat.


Mengintip Destinasi Wisata Malang yang Masih Tersembunyi

$
0
0
Kota Malang dan sekitarnya telah terkenal dengan banyak tempat wisata kekinian yang tak boleh dilewatkan saat liburan. Memiliki hawa sejuk dan nyaman kota ini merupakan pilihan tepat untuk melepas penat. Namun apakah Anda sudah mengetahui sisi lain tempat wisata di Malang yang belum banyak terjamah? Berikut sajian informasinya untuk Anda:

Destinasi Wisata di Kota Malang 


Pantai Tiga Warna
Sumber : Maripiknik.com
Untuk masuk ke pantai yang terletak di desa Tambakrejo ini, Anda harus melakukan reservasi terlebih dahulu karena merupakan kawasan Clungup Mangrove Conservation. Pengunjungnya pun dibatasi hanya 100 orang per hari. Namun Anda dijamin tidak akan menyesal karena pemandangan alam yang begitu indah dengan tiga warna air laut yang dapat dinikmati dari pantai. Perbedaan warna ini terlihat jelas akibat perbedaan kedalaman air laut. Jika sudah puas memanjakan diri dengan angin laut di sini, jangan lupa bawa pulang sampahnya juga ya kalau tak ingin kena denda.

Gua Lo Bangi
Untuk Anda yang menyenangi wisata susur gua, gua Lo Bangi yang terletak di dusun Ngliyep, desa Kedungsalam, Donomulyo, Malang ini patut disambangi. Terdapat dua buah gua yang berlokasi kurang lebih 5 km dari pantai Ngliyep ini. Gua Lo dan Gua Bangi terhubung oleh satu sistem sungai bawah tanah yang dapat disusuri. Keindahan stalaktit, stalagmit serta kolam-kolam air yang ada di dalamnya dijamin akan membuat Anda puas dan kagum dengan kealamian gua ini.

Kawah Pantai Mbehi
Berbeda dari pantai lainnya, di pantai yang terletak di desa Sumberbening, Bantur, Malang ini Anda dapat menemukan sebuah lubang di tepi karang yang mirip dengan kawah. Fenomena semburan air yang melewati lubang tersebut begitu unik untuk dicermati. Pantai ini sendiri terletak di balik hutan lindung. Dengan dua tebing yang mengapitnya, panorama alam yang ditawarkan begitu indah. Tepian pantainya berbentuk seperti cekung seperti teluk dan sering disebut dengan Teluk Bidadari. Airnya yang jernih berwarna biru kehijauan akan memukau mata Anda dan membuat pikiran menjadi rileks. Mata Air Sumber SirahSebuah sumber air tawar yang begitu jernih terdapat di desa Sumberjaya, Gondanglegi, Kabupaten Malang. Di sana Anda bisa bermain air sekaligus snorkeling di bawah air. Hal yang unik dari mata air ini adalah tanaman ganggang hijau yang terletak di dasar airnya. Jangan lupa bawa peralatan berenang dan kamera tahan air supaya bisa puas berfoto di sana ya.

Coban Nirwana
Sumber : dakatour.com

Memiliki nama lain Coban Mbok Karimah, tempat wisata ini berbentuk air terjun yang masih asri dan begitu segar. Air terjun ini memiliki dua tingkat utama yang terlihat dengan aliran air yang cukup deras. Waktu terbaik untuk mendapatkan pemandangan yang indah adalah tepat di saat musim hujan selesai dan telah memasuki musim kemarau. Coban Nirwana terletak di perbatasan antara Kecamatan Gedangan dan Kecamatan Sumber Manjing Wetan, tak jauh dari Pasar Gedangan.Nah, itu tadi beberapa potensi wisata di Malang yang masih tersembunyi. Anda dapat merencanakan untuk liburan ke sana bersama teman atau keluarga. Jangan lupa juga untuk membuat persiapan agar liburan Anda menyenangkan.

Kini Anda tak perlu pusing bila akan mencari hotel di Malang untuk menginap. Pesan saja lewat web atau aplikasi Airy yang memiliki jaringan hotel terbanyak di Indonesia. Dengan pelayanan tepercaya, hotel di Airy akan memanjakan Anda dengan 7 jaminan fasilitas lengkap seperti adanya televisi di kamar, ruangan ber-AC, peralatan mandi air hangat yang lengkap bahkan wifi gratis yang tentunya tidak akan membuat Anda kecewa saat berada di Airy Rooms. Ayo segera rencanakan liburan Anda!

Rasionalisme Bodoh Pada Pemilihan Umum

$
0
0
Halo. Sudah lama sekali rasanya blog ini tidak terisi tulisan baru, karena kesibukan di berbagai sektor yang saat ini memerlukan perhatian saya, dan tuntutan tugas-tugas pekerjaan yang semakin tinggi. Beberapa bulan belakangan, kondisi politik dan media sosial yang carut-marut juga membuat banyak topik yang menurut saya cukup menarik untuk dibahas, berpotensi untuk bikin perpecahan dan pertengkaran khususnya dalam ranah dunia maya.

Agar sebuah demokrasi bisa berjalan dengan baik demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, maka orang-orang yang ikut pemilu harus memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai agar mereka bisa memahami kondisi negara dan mempertimbangkan dengan baik siapa pemimpin yang akan mereka pilih. Pemilih yang cerdas akan membuat bangsa ini jadi maju, tapi pemilih yang bodoh akan membuat bangsa ini jadi bobrok. Dan, di situlah letak permasalahan pemilu di negara kita ini: sebagian besar pemilih tidak memiki kapasitas dan pengetahuan yang cukup untuk memilih dengan baik dan penuh pertimbangan. Orang-orang yang ikut pemilu sebagian besar adalah orang-orang yang tidak mengerti apapun tentang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum atau tentang hak asasi manusia.

Banyak diantara kita yang belum ngeh dengan berita-berita politik yang berkeliaran di media, dan seberapa pentingnya kita, sebagai pemilih pemula, untuk bisa menjadi generasi yang melek politik. Kebanyakan dari kita masih sekedar main sosial media, untuk eksistensi saja. Bukan untuk memperkaya diri, belajar sejarah, menambah pengetahuan.


Sebenarnya yang saya mau bahas sepele, mengenai bagaimana kita memilih calon pemimpin. Entah dalam pemilihan Presiden, DPR, atau Pilgub. Belajar dari musim pemilu yang sebelumnya, masih banyak sekali terjadi pelanggaran dalam etika pemilihan. Mulai dari banyaknya Paslon yang sok peduli terhadap lingkungan, ada juga yang merasa bertanggungjawab terhadap infrastruktur desa, hingga merasa jadi pahlawan dalam lingkup pendidikan dan kesehatan sehingga membuat jadwal untuk kunjungan ke desa-desa. Walaupun yang dilakukan masih dalam ranah sesuatu yang tidak melanggar, pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran dan sebagian masyarakat tidak menyadari itu. Jadi wajar saja jika satu suara bisa dibeli seharga 30.000 rupiah dan menjadi hal yang "wajar" di mata masyarakat karena hal ini. Inilah Rasionalisme Bodoh Dalam Pemilihan Umum. Karena akibatnya mereka memilih bukan karena pertimbangan matang yang rasional berdasarkan data dan fakta, tapi berdasarkan hal-hal bodoh, seperti seberapa besar uang yang diterima sehingga mereka mengukur pada masing-masing calon yang terbesar uangnya akan dipilih.

Untuk menanggulangi tentang regulasi pemikiran semacam ini, sepertinya perlu diberikan sosialisasi mengenai aspek-aspek pemilihan yang bersih dan murni. Dan juga menanamkan betapa pentingnya nasib bangsa, betapa berharganya suara kita yang akan mengubah keadaan daripada 30.000 yang hanya bisa buat beli nasi goreng dua bungkus saja. Inilah tugas Pemerintah dan Lembaga terkait untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Bisa dengan menggandeng komunitas Pemuda ata sejenis karang taruna di desa setempat, ataupun membuat kegiatan-kegiatan bersifat "fun" tetapi berisi mengenai pembelajaran tentang politik pemilihan langsung.



Selamat Hari Pahlawan di Era Generasi Milenial

$
0
0
Pahlawan. Kata ini mungkin semiontiknya membuat kita berpikir tentang sebuah keberanian, pengorbanan, keteguhan, bercampur dengan kehebatan, kekonyolan, mungkin juga kebodohan, tergantung dalam persepktif mana kita memandang. Barangkali tidak banyak di antara kita punya ingatan tajam atau berempati pada generasi angkatan 45 untuk merayakan hari ini sebagai harinya pahlawan.

"Hari gini, agak gimana gitu kalau berbicara tentang pahlawan dengan segala pemaknaannya, apalagi dalam konteks Indonesia. Bisa berteman dengan stress sugguhan." kata kids jaman now yang lebih suka membahas meme tentang mantan ketimbang bicara yang katanya berat.

Menjadi pahlawan mungkin menjadi challenge yang terakhir di tengah tawaran-tawaran yang lebih menggiurkan. Untuk apa jadi pahlawan? Mungkin pertanyaan ini pun tidak pernah terlintas dalam pikiran. Atau mungkin tak ada seorang pun ingin dengan sadar (berdasarkan discernment yang tegas) mau menjadi pahlawan. Bahkan pahlawan sejati barangkali tak pernah berpikir kelak dikenal sebagai seorang pahlawan.

Selamat Hari Pahlawan 



Kalau kita sepakat bahwa kata pahlawan boleh diasosiasikan dengan keberanian dan pengorbanan serta keteguhan, maka agaknya pahlawan setidaknya pernah menjadi salah satu isi keinginan kita kalau berbicara tentang the law of attraction. Tinggal meminta dan mem-visualisasikan. Apalagi kalau kita yakin Lucifer effect ternyata makin terbukti di tanah air kita. Di negeri ini bukan hanya penjahat yang berkelainan jiwa, pejabatpun sudah sampai tahap kerusakan jiwa. Mungkin benar, telah banyak petinggi kita mengalami Mulitiple Personal Disorder.

Lalu bagaimana cara kita bisa menjadi pahlawan? Yang jelas tidak perlu SKCK dari kepolisian. Juga bukan mereka yang suka melihat darah-darah, apalagi bersemangat bunuh diri. Mulai saja dari yang kecil dengan berani, teguh dan siap berkorban demi misalnya: equality cowok cewek, bersikap sopan santun pada yang lebih tua, dan keberanian menentang perhitungan apapun yang didasarkan bad atau luck yang dipercaya sebagian orang. Berani menentang reduksionisme gender berdasarkan warna pink atau biru. Dan yang penting, dengan motivasi yang teguh berani 'make a move' serta selalu berani mempertanyakan 'ada apa dengan ini' ketika sikap kepahlawan tak pernah terbersit dalam hidup kita.

Selamat Hari Pahlawan

Selamat Hari Ke-MERDEKA-an Indonesia

$
0
0

Ketika gerigi senso melenyapkan belantara hijau dan satwa menghilang diam tertimpa gelondongan hanyut, para pemimpin negeri ini alah berujar:

“Hutan alam Indonesia masih melimpah ruah buat semua.” 

 

Ketika ribuan kendaraan dan pabrik-pabrik menggeliat cepat sembari memayungi kota dan desa dengan jelaga hitam, para pemimpin negeri ini berpidato fasih:  

”Kemajuan Indonesia harus ditata rapi” 

 

Ketika sejuknya ruangan AC di gedung yang menunjuki langit-langit dengan rasa nikmat tanpa pengap, lamat-lamat ’ku dengar para pemimpin negeri ini berucap:

”Nikmatnya Indonesia Merdeka.”


Ketika kuamati orang-orang muda bergairah menekuni buku-buku kuliah, sembari bergoyang ria diiringi musik hingar, aku juga percaya saja para pemimpin berkeyakinan:

”Itulah calon pemilik masa depan Indonesia!” 

 

Lalu, ketika kusaksikan petani dan burung bergaduh berebut benih, ketika kusaksikan nelayan dan ikan terengah di jaring dan umpan, ketika kusaksikan pengasong dan buruh berlomba-lomba batuk, ketika kusaksikan sesunguk para ibu dan isak bocah-bocah karena rumahnya dipaksa berganti gedung megah, tapi bukan untuknya, ketika kusaksikan bocah-bocah menadah dan para ibu mandah karena rumahnya ditraktor rata dengan tanah dan sampah. Ketika kusaksikan segelintir demonstran mengungkapkan rasa amarah dan gelisah, aku bingung dan termangu, tak kusaksikan para pemimpin berkhotbah,

“Itulah realitas Indonesia yang sesungguhnya“

Kudengar rintih tangis, kulihat air mata menitik, ada derita rakyat di mana-mana di pelosok negeri ini, akupun tetap tak yakin untuk tetap meratapi Indonesia ini. Karena para pemimpin tak bilang itu tangisan Indonesia, mereka cuma berujar ringan

”Pembangunan membutuhkan pengorbanan.”

Aku bingung dan termangu, bukan bersedih, karena meski masa depan memang milik orang-orang muda, mereka kini terjajah oleh slogan-slogan dan angan-angan.

Selamat hari Kemerdekaan Indonesia !


Maukah Kita Belajar?

$
0
0

 Socrates pernah mengatakan kalimat yang terkenal ini :

 "yang saya tahu dengan pasti adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa."

Kalimat sederhana ini menjadi kalimat paradox yang sarat kebijaksanaan karena keluar dari mulut seorang socrates. Makna kalimat ini menjadi lain ketika keluar dari mulut saya, kalau saya ditanya tentang apa itu Fisika Quantum. Atau akan menjadi kalimat yang sangat jahat ketika disuarakan oleh Polikarpus ketika ditanya apa kaitannya dengan kematian Munir. Dengan kata-kata itu, tentu saja Socrates tidak sedang gelisah akan perdebatan tentang self esteem atau modest. Kalimat ini adalah kalimat falsafati yang mengungkapkan kedalaman hakekat manusia. Dengan kalimat ini Socrates mengingatkan kita bahwa manusia itu adalah falliable atau mahkluk yang berkecenderungan untuk (membuat ke)keliru(an) dan lagi, pada hakekatnya, ada begitu banyak hal yang tidak dimengerti oleh mahkluk yang namanya manusia. 



Mencoba finding the truth between the paradox lines dalam kata-kata ini, terlintas kata Belajar. Sistem docta ignorantia ala Socrates ini, menarik bagi siapapun yang mau jadi pembelajar. Karena hal itu mengandaikan orang yang belajar, tidak menjadi mandeg dan terus membuka kemungkinan untuk menemukan jawaban yang lebih baik lagi. Barangkali kalau dilihat dalam kacamata topologi kepribadian menurut warna, mereka penyuka warna putih, untuk keeterbukaan dan rasionalistinya. 

Belajar yang paling mengasyikkan tapi paradoksnya sekaligus paling malas kita lakukan adalah belajar terhadap pengalaman hidup. Demikian juga persoalan stress yang memang bisa menjadi teman, tapi pilihan berteman dengan stress adalah pilihan yang minimalis dalam sebuah pembelajaran terhadap hidup. Barangkali yang paling penting dipikirkan adalah mengapa kita malas belajar dari pengalaman? atau lebih parah lagi, mengapa kita tidak termotivasi untuk belajar terhadap atau dari suatu pengalaman hidup (diri sendiri maupun orang lain). Jawaban yang bernuansa psiko-sosio-antropologik, agaknya kurang memuaskan, karena pasti berputar-putar soal blaming the outside dan biasanya bias fatalis. Padahal jawabannya mesti dicari dengan semangat looking for the inside, deep deep down. 

Yang jelas banyak orang di negeri ini, termasuk politisi dan selebriti, tidak (mau) belajar (lagi). 

Maukah kita belajar?

Hujan di Bulan November ; Sebuah Cerpen tentang Kehilangan

$
0
0

Sudah lama aku tidak menulis. Dan inipun cerpen lama yang kebetulan muncul di memories Facebook, jadi mungkin ada baiknya saya simpan juga disini mengingat facebook sudah menghapus fiture Catatan.


Cerpen tentang Kehilangan

Hujan di Bulan November


Di bulan November, hujan terlihat sedih sekaligus hangat. Rintikannya membawa pergi cuaca panas dari darat. Seolah membawa segala kesedihan yang begitu berat tenggelam ke arah barat. Seperti mantel hujan yang kita benci di cuaca panas, namun menjadi teramat penting ketika hujan datang menerpa dengan sungguh tiba-tiba. Dan pada bulan November inilah, aku harus membawa mantel hujanku kemana-mana.


Sama seperti di sore yang lain di bulan November ini, aku meratapi aliran air yang bergerak di jendela kafe. Aku masih memesan kopi tanpa float dengan memori cuaca musim panas yang terserap di dalam tubuhku sebelum memasuki kafe ini. Lalu hujan sialan datang, mencegahku untuk pergi lebih jauh, beranjak jauh dari memori di jendela kafe yang sama di bulan yang sama setahun lalu, ketika musim benar-benar hujan.


Satu tahun yang lalu, di kafe yang sama dan curah hujan yang sama, ada seseorang di depanku yang berkata dengan nada tak menentu. Kubiarkan begitu saja. Di nada terakhirnya yang menekan, aku masih tidak mendengarnya. Ia pergi dengan curahan air melingkupi wajahnya sehingga aku tidak dapat membedakan yang mana air hujan dan air mata dari kedua matanya yang tajam. Seperti es yang mencair di kopiku yang hangat. Sebuah fragmen peristiwa yang tidak pernah benar-benar kuingat. Tidak pernah selama setahun terakhir.


Pengkhianatan dimulai dari memori-memori yang rapuh, serapuh diriku. Di tengah-tengah hujan bulan November yang kentara, aku tidak pernah mengingat siapa seseorang yang di depanku berkata tidak menentu dan meninggalkan ingatanku dengan sepenggal pasang mata yang tajam.


“Ada pesanan tambahan, Tuan?”


Sekejap aku seperti terbangun di hadapan meja kayu hitam kafe ini, aku menggelengkan kepala dan berkata terimakasih. Aku mengambil sebuah buku dari rak kayu di belakangku, judulnya membuatku terjaga “Peziarah-peziarah Aneh”, serupa aku. Seseorang yang terjebak di dalam dunia modern dan berziarah dari kafe ke kafe, untuk mencoba tetap mengingat sebuah fragmen peristiwa yang tidak pernah benar-benar kuingat

***

Aku terbangun pagi ini di tengah-tengah cuaca pagi yang panas, menemukan sprei kasurku yang basah oleh keringat dan wajahku yang semakin menua di depan cermin. Aku tidak pernah bisa menjelaskan apa-apa yang dilakukan sang waktu pada tubuhku. Aku mengambil segelas air di dapur, meminumnya dan melihat pada sekeliling kamarku yang lenggang hilang akan sesuatu. Aku mencoba menghitung memori yang terkais dari hari sebelumnya, menambahkannya dalam kepalaku.


Seperti ritual pagiku yang biasa, aku segera mengambil handukku dan menyalakan pancuran air. Di tengah-tengah timbunan air yang jatuh di atas tubuhku, aku mengejang, merasakan urat-urat di kepalaku memberontak serupa jalinan sekumpulan ular liar yang hendak keluar dari otakku. Aku berdegup kencang, mencoba menenangkan diri dengan tidak melibatkan bagian kepalaku di bawah hujaman air. Hal itu membuatku merasa lebih baik dan melanjutkan ritual mandiku seperti biasanya.


Hari sudah siang ketika aku keluar melangkahkan kakiku ke jalan. Perutku memprotesku sepanjang jalan yang kulalui. Aliran darahku membutuhkan kaffein. Kafe dengan atap biru dan jendela besar di tepi jalan, serta siang yang panas terlihat seperti ruang berteduh yang indah. Dari panas dan juga dari hujan di lima belas menit berikutnya.


Sandwich tuna yang kupesan datang menyusul segelas kopi tanpa float kesukaanku. Aku makan dengan diam, membalikkan lembaran-lembaran buku berjudul “Peziarah-peziarah Aneh” tanpa benar-benar membacanya. Di jam-jam seperti ini aku seperti menunggu sesuatu untuk terjadi.


Aku kehilangan kepercayaan diriku sejak setahun lalu. Aku kehilangan kepercayaan diriku bahkan untuk mengangkat pena. Atas satu fragmen peristiwa yang membuatku selalu gelisah, yang membuatku tidak pernah benar-benar mengingatnya. Aku adalah seseorang yang begitu mempercayai ingatanku sendiri dan saat ini aku begitu kecewa dengan memori yang mengkhianatiku begitu rupa.


Di hujan bulan November yang laknat ini, seolah-olah rintikan hujan menertawaiku. Menertawai ingatanku yang melemah dan kemampuanku yang menghilang untuk menuliskan yang kuingat. Roti sandwich tuna di tanganku sudah hampir habis, aku memesan segelas air untuk menghilangkan rasa amis ikan di mulutku. Segelas air datang ke mejaku diiringi deru hujan yang semakin deras di luar jendela. Aku sejenak menggigil sambil menyeruput kopi yang tak lagi panas.


Bel dari pintu kafe yang terbuka berbunyi manis, mengantarkan seseorang perempuan dengan jaket ungunya masuk ke dalam. Rambutnya yang sebahu terlihat basah, jaket ungunya ia keringkan di sandaran kursi kayu. Ia meminta menu, sambil mengelap wajahnya dengan tissue. Aku mengalami semacam de javu. Perempuan yang kebasahan oleh hujan, melepas jaketnya dan duduk di situ. Di meja seberangku.


Aku mengamati detail perempuan itu dengan tatapanku yang nyaris tidak sopan. Aku terpana akan detail gerakannya ketika mencoba mengeringkan dirinya atas hujan yang membasahi dirinya. Letak rambutnya, letak kemeja dan celana panjangnya, juga sepasang sandal yang juga ungu dilepaskannya untuk kering, menaruh kedua kakinya di sela-sela kayu penyangga meja bagian bawah. Lalu letak duduk posisinya yang berubah setiap lima menit, menunjukkan suatu kegelisahan yang mirip denganku. Menunggu akan sesuatu. Mungkin dariku.


Namun dugaanku salah, tepat pada menit ketika aku hendak menghampirinya setelah ia berganti posisi duduknya selama tiga kali, pintu kafe kembali terbuka. Seorang laki-laki dengan jaket coklat tua masuk ke kafe, menoleh ke arah si Jaket Ungu dengan ramah. Si Jaket Ungu tersenyum menyambutnya. Terlihat cukup jelas dari pandangan kedua orang itu bahwa mereka sepasang kekasih. Aku menarik nafasku, mencoba melanjutkan bacaanku tanpa benar-benar membacanya dan sesekali mencuri dengar pembicaraan sepasang kekasih itu.


Sudah lima belas menit lagi terlewati sejak mereka berdua duduk di seberangku, halaman yang kulewati sudah mencapai angka delapan puluhan. Aku sejenak menatap lagi hujan di luar jendela, ada sesuatu dari detail pemandangan itu yang menganggu. Lalu aku mendengar suara serak dari meja seberang, lirih dan aku tidak dapat menangkapnya. Kulihat wajah si Jaket Ungu sedikit memerah dan matanya berkaca-kaca, aku kehilangan alur pembicaraan mereka bahkan lupa akan segala yang mereka bicarakan sebelumnya. Aku merasakan bahwa aku tengah menunggu mengulang sesuatu. Namun yang datang hanya kediaman sepasang kekasih itu untuk waktu yang lama. Membuatku merasa setidak-nyaman mereka.


Si Jaket Coklat Tua tiba-tiba berdiri dari kursinya, seolah-olah membereskan segala sesuatu dan mencari dompetnya yang seketika juga membuyarkan penantianku. Si Jaket Ungu terlihat gelisah, dengan tergesa memakai sandal ungunya yang masih setengah basah. Si Jaket Coklat Tua meminta tagihan pada pelayan dan si Jaket Ungu mengigit bibir atasnya seperti sedang menahan sesuatu.


“Baiklah, biar aku yang pergi jauh dari sini!” Si Jaket Ungu mengeluarkan sesuatu yang dipendamnya itu dengan nada menekan dan membuatku tertegun. Membuat si Jaket Coklat Tua tertegun.


Aku melihat si Jaket Ungu berdiri tepat di luar jendela di hadapanku. Di tengah-tengah hujan, tidak ada yang lebih indah dan cantik daripada seorang perempuan yang kebasahan. Aku masih tertegun, setelah dua menit aku tergeragap. Si Jaket Ungu dengan nekatnya menerobos kendaraan yang lalu lalang di tengah-tengah hujan itu. Aku ingat, aku pernah melihatnya. Pernah melihat ini semua, enam bulan yang lalu.


Aku segera beranjak dari kursiku, segera keluar dari kafe, menerobos hujan dan lalu lalang kendaraan. Kutarik tangan si Jaket Ungu dan dengan paksa menyeretnya kembali ke trotoar. Aku melupakan si Jaket Coklat Tua yang muncul dengan tiba-tiba di luar pintu kafe. Si Jaket Ungu lari ke arah pelukannya dan terisak tidak lama setelah mengumpatku; “Apa urusanmu?”


Apa urusanku? Ingatankulah yang berurusan denganku. Enam bulan yang lalu, bukan si Jaket Ungu yang berdiri di situ, namun perempuan dengan jaket orange yang menyolok. Berjalan dengan kenekatan yang sama menerobos lalu lalang kendaraan di saat hujan yang seperti ini. Dan dia mati, tertabrak mobil berwarna gelap. Aku hanya bisa berdiri melihatnya dibatasi jendela kafe. Dia, mereka, kekasihku dan bakal anakku di perutnya.

Cerpen tentang Kehilangan


***

“Ada pesanan tambahan, Tuan?”


Sekejap aku seperti terbangun di hadapan meja kayu hitam kafe ini, aku menggelengkan kepala dan berkata terimakasih. Aku mengambil sebuah buku dari rak kayu di belakangku, judulnya membuatku terjaga “Peziarah-peziarah Aneh”, serupa aku. Seseorang yang terjebak di dalam dunia modern dan berziarah dari kafe ke kafe, untuk mencoba tetap mengingat sebuah fragmen peristiwa yang masih tidak pernah benar-benar kuingat.