Quantcast
Channel: alisakit™
Viewing all 39 articles
Browse latest View live

Antara Celana Dalam, Beha, hingga Kondom

$
0
0
Ada yang lucu yang sering saya temui di supermarket. Khususnya kalau sedang melihat-lihat pakaian. Ini yang sering saya temukan dan selalu membuat saya menahan tawa; sepasang kekasih yang mesra, seketika kagok dan berpisah sesaat karena si gadis pergi ke counter Celana Dalam dan BH. Si lelaki sengaja memisahkan diri dan melihat-lihat bagian lain yang tentu saja nggak jauh dari situ sambil diam-diam melirik gadisnya memilih underwear.

Saya sering penasaran, apa yang dipikirkan si lelaki saat itu. Barangkali dia kepingin menemani si gadis memilih CD dan BH yang cocok dan sesuai untuk si gadis sekaligus sesuai dengan selera dia, dan tentu saja yang bisa membangkitkan gairahnya. Atau, saat itu si lelaki ngaceng membayangkan gadisnya berdiri di hadapannya hanya memakai salah satu CD dan BH itu.

Apa salahnya lelaki pergi menemani pacarnya melihat-lihat underwear? Saya pikir nggak ada yang tabu soal itu. Barangkali mereka pikir nggak pantas. Saya pikir pantas. Nggak ada salahnya, toh itu hanya pakaian. Sebuah benda yang menempel di tubuh. Tidak berarti kalau lelaki memegang CD dan BH di supermarket dan memilihkan untuk pacarnya, dia memegang alat kelamin si pacar kan?

CD dan BH yang dipajang itu tentu tidak salah. Sama juga dengan Kondom. Kita yang sakit jiwa. Mereka hanya benda-benda yang membantu kita. Kondom hanya alat pengaman supaya tidak terjangkit penyakit. CD membikin selangkangan kita nyaman. BH membikin payudara perempuan tidak kena kanker.

Lagipula, kenapa lelaki harus malu? Toh kita sering membayangkan isi di balik BH dan CD. Bahkan diam-diam hapal di luar kepala ukuran BH perempuan. 32B sekepalan tangan, 32C satu setengah, 34B lumayan, 34C idola lelaki.

Antara Celana Dalam, Beha, hingga Kondom


Kenapa ukuran begitu penting bagi kita? Lelaki kepingin punya pacar yang payudara dan bokongnya besar. Perempuan (katanya) suka penis yang jumbo. Bahkan kalau mau jadi bintang porno, kedua hal itu yang jadi modal utama; payudara dan penis yang besar. Perempuan jangan menyangkal. Nggak usah malu. Buktinya Mak Erot bisa jadi legenda bagi kaum lelaki Indonesia sebagai ahli pembesar kelamin meski kemudian muncul Dokter Boyke yang mempromosikan kalau ‘ukuran’ bukan segalanya. Katanya; seperti main bola, bukan besar bolanya yang penting, tapi gocekannya. Lagilagi, ‘ukuran’ adalah ‘kenikmatan’ tentu saja hanya mitos.

Berapa banyak mitos yang sesungguhnya hanya bikin kita sengsara. Membesarkan penis ke Mak Erot bukan tanpa resiko. Membesarkan payudara dengan menyumpal silikon juga bukan tanpa resiko. Kabarnya bisa menyebabkan kanker.

Beberapa kawan juga sepakat dengan dokter Boyke, bahwa 'ukuran’ bukan segalanya. Tapi dasar saya yang nyinyir langsung bilang ‘karena punya lu kecil, makanya setuju’.

Kawan, punya kamu besar atau kecil? Ha..ha...ha...

Kembali ke masalah kata "kondom" tadi, di lain waktu, saya menyebut kata itu di hadapan kawan-kawan saya di kantin kampus (waktu masih kuliah), respon mereka negatif semua, mendengus, ada yang bilang ‘saru’ seolah saya baru saja mengatakan kata lain bersenggama dengan awalan ‘N’ dan akhiran ‘T’.

Apa yang salah dengan kondom? Saya bingung, padahal dia hanya sebuah alat kontrasepsi. Ketika saya menyebut kata itu seolah saya sedang telanjang dan mempraktekkan bagaimana cara memakai kondom di depan mereka sehingga mereka menganggap kata kondom itu sebagai sesuatu yang negatif. Alangkah aneh. Tetapi itu bukan hanya terjadi pada kawan-kawan saya saja. Barangkali sebagian besar masyarakat Indonesia akan merespon begitu.

Bukan kondom yang salah kawan, tapi otak kita yang mendengarkan kata itu lalu mengolahnya menjadi hal tabu. Adakah yang salah dengan Kondom? Saya kira nggak. Otak kitalah yang salah, merespon kata itu dengan cara yang salah. Kondom, ketika kita mendengar, tidak direspon sebagai alat kontrasepsi oleh otak kita, melainkan sebagai persenggamaan. Padahal Kondom sudah berbaik hati membantu supaya yang melakukan hubungan menjadi tidak terkena HIV.

Kalau banyak kaum intelek yang mempermasalahkan iklan Kondom dan kampanye pemakaian Kondom dilarang, saya bisa memahaminya, sebab bagi sebagian besar kita masih punya persepsi negatif tentang kondom. Tetapi saya juga bisa mengerti kalau ‘para penjaga moral’ (mengambil kalimat Ayu Utami di sebuah essay-nya) itu memprotes kampanye penggunaan kondom untuk safety di diskotik dan lokalisasi. Bagi mereka bukan lagi persoalan Kondom dengan persepsi negatif, tetapi kampanye itu seolah legalitas free marital. Seolah bilang ; boleh ng****t tapi pakai kondom biar aman, bukan cuma dari kehamilan, tetapi penyakit.

Sama dengan perdebatan tentang korelasi antara cara berpakaian perempuan dengan tingkat perkosaan. Banyak yang bilang, perempuan diperkosa karena pakaian mereka ‘mengundang’ untuk diperkosa. Lainnya menyangkal itu. Mereka bilang ; dasar laki-lakinya saja yang gatal, lalu mencari dalih bahwa perempuan berjilbab-pun bisa diperkosa.

Bagi saya, nggak ada yang benar dan salah dalam hal ini. Bisa jadi duaduanya benar sekaligus salah. Misalnya kita suruh dua perempuan lewat di depan segerombolan lelaki berahi. Yang satu pakai Jilbab, yang satu berbaju super seksi. Coba tebak, mana yang paling memungkinkan diperkosa?

WHATEVERITIS ; Sebuah Idealisme

$
0
0
Aku tidak ingin jadi kau, calon sastrawan. Mungkin aku ini konservatif. Mungkin aku ingin setia dengan satu jalan. Dan tertawalah, tapi aku tidak akan. Mungkin kau akan tetap hidup tanpa selalu bergeriliya, tapi aku ingin sebaliknya. Aku tak bisa bilang mana cara hidup terbaik, dan siapa sang korban. Setidaknya aku tidak suka bermanuver. Ini bukan ironi. Tapi aku perlu menulis untuk mengetahui siapa dirimu, dan siapa aku.

Dan rupanya aku memang tak mampu jadi kau, calon sastrawan. Aku tak mampu menjual karyaku seperti caramu, berpetualang seribu jalan, seluruh topeng kertas kaukenakan. Hidupmu seolah segulung peta kesunyian yang kaubeberkan di etalase dan tergenang sorotan lampu-lampu mall yang mencolok pandang. Sangat efektif. Dan itu, bukan aku.

Sebuah Idealisme


"Maaf" bukan kata yang tepat. Mungkin kecewa pun tidak. Selama masih ada pagi, maka itu aku. Itu untukku, whateveritis.

Kompetisi ; Sebuah Renungan

$
0
0
Mungkin saya akan  ragu jika globalisasi menjadi faktor yang berpengaruh dalam agresi remaja dewasa ini. Tapi kalau globalisasi, memperbesar gairah manusia untuk kompetisi, saya setuju sekali. Baik kompetisi dalam pengertian obyektif-profesional maupun kompetisi dalam arti subyektif dan bersemangat teroris.

Namun kompetisi tetaplah sebuah persaingan kendati terbungkus dalam suatu culture yang sarat dengan nilai-nilai kesopananan. Dan dalam hal ini semangat “homo homini lupus” tetap relevan dan diminati. Karena itu, menarik untuk melihat “psychologigal conditioning” para kompetitor yang mengadopsi budaya X-Factor misalnya. Ketika mendengar pengumuman bahwa mereka tidak termasuk atau setidaknya belum tereliminasi. Saya kira tangisan mereka sukar untuk diartikan maksudnya. Atau sedih karena harus berpisah dengan rekan mereka atau senang karena toh masih selamat dari eliminasi.

Begitulah kompetisi mempemainkan psikologi manusia dan membuat kita menjadi stress serta sedikit schisoprenism. Yang lebih membuat geli kompetisi juga bisa membuat seorang kehilangan akal budi. Lalu mulai percaya pada jampi-jampi seperti orang yang percaya ada hubungan antara nama dan jodoh. Tetapi yang paling keji dari sebuah kompetisi adalah hilangnya hati nurani dan harga diri. Sehingga seorang caleg bisa tetap berbangga dengan diri sendiri meski dengan modal ijasah palsu dan masa lalu yang penuh kebusukan.

Memang ketika kompetisi merambah ranah politik dan kekuasaan ia akan menemukan jodohnya pada pemikiran si kumis Nietzsche dalam buku the Will to power (kehendak untuk berkuasa) dan bisa dibayangkan kegilaan yang terjadi. Barangkali cita-cita Immanuel Kant akan kemanusian yang sampai pada persaudaraan dan perdamaian abadi hanya akan dialami manusia saat kematian datang menjemput.

Jadi teringat apa yang disebut teman saya sebagai culture Indonesian Idol,Akademi Fantasi, X-factor, dan semacamnya, dimana pencapaian puncak aktualisasi diri seseorang diukur bukan berdasarkan seberapa hebat dia mencapai masterpiece dalam suatu hal, tapi berdasarkan berapa persen sms dia kumpulkan . Maka seorang dengan suaranya dan penampilan biasa, hanya karena senyum yang mempesona gadis-gadis, jadilah dia pengumpul sms terbanyak, sementara yang lain yang nampak optimis, didukung kualitas suara dan penampilan yang oke, harus siap dieliminasi. Barangkali dia lupa, bangsa kita agaknya dalam kondisi psikologi-subconscious, sehingga sukar bersikap obyektif.

Maka saya pun menjadi ragu sejauh mana budaya ini dipakai sebagai ukuran bahwa seseorang layak disebut pemenang. Barangkali jawabannya adalah "YA", kalau kata “menang” direduksir artinya menjadi “paling gencar promosi”. Ah, agaknya saya lupa bahwa suka atau tidak suka, kita semua sepertinya mengidap autisme, “asal gua suka dan seneng, loe mau keberatan apa, emang gua pikirin.” Benar memang, terkadang orang bisa mencintai tanpa reason yang jelas.

Subyektivitas semacam ini pasti akan ditolak dengan keras oleh Imannuel Kant. Tapi sekali lagi emang gue pikirin flsafat dari seorang filsuf yang seumur-umurnya tidak pernah pergi dari kotanya? Dia lupa bahwa dunia ini penuh warna warni.

Tentang Kompetisi


Pada akhirnya apakah kita mencapai puncak dan tujuan hidup kita terletak pada kemampuan untuk tidak hidup dalam masa lalu dan selalu mampu melihat hikmat di balik kesalahan serta mampu menaklukkan stress dalam menghadapi pilihan hidup yang begitu banyak. Jadi kita memang mesti hidup dengan moto COGITO ERGO SUM, bukan COGITAN ERGO SUM (mereka berpikir, maka saya ada).


Salam, Wirasatriaji

Bukan Siti Nurbaya ; Sebuah Cerpen Komedi

$
0
0
 Salam. Inilah cerpen komedi pertama dari Wirasatriaji. Semoga termasuk cerpen komedi yang lucu dan menghibur. Karena pada dasarnya saya bukan komedian ataupun penulis komedi. Hanya belajar menulis dengan genre komedi. Silakan dinikmati cerpen komedi dari saya.

Cerpen Komedi


Bukan Siti Nurbaya
Oleh : Wirasatriaji

Senja mulai menutup hari dalam kebekuan sore yang dingin. Butir-butir jingga bermain manja di pucuk pepohonan taman. Hujan baru saja reda, aromanya khas yang berterbangan menyusup di sela kemesraan dua sejoli di bangku kayu sudut taman.

"Say, aku ngerasa beruntuuung ... banget jadi pacarmu. Soalnya, meskipun aku sering ngupil di depan kamu, tapi kamu tetep setia," ucap Rava memeluk Shella, kekasih hatinya yang sendu menawan.  Kedua tangan Shella ikut melingkar ke tubuh laki-laki kurus itu. Rava tersenyum, merasakan dekapan hangat kekasihnya. Sedetik kemudian ia mendekap tubuh kekasih hatinya itu dengan penuh kelembutan. Menyelipkan perlahan jemarinya diantara legam rambut Shella yang hitam sehitam satria baja hitam.

"Auw... ," seketika Shella mengaduh ketika rambutnya tersangkut jemari Rava.

"Kok rambut kamu kusut, lepek, patah-patah, bercabang, dan berketombe, say?" tanya Rava menurunkan tangan.

"Ma'af say, aku nggak mandi tiga hari. Soalnya air di rumah lagi mampet" terang Shella melepas pelukan dari tubuh Rava.

"Nunggak ya?" tanya Rava mengerutkan dahi.

"Ho'oh," jawab Shella dramatis.

Kembali Rava mendekap kekasih hatinya itu. Sambil terpejam, Rava merasakan kedamaian dan rasa nyaman yang didapat di saat-saat seperti ini. Kedamaian akan sebuah ketulusan cinta Shella. Tiba-tiba, Rava merasa ada sebuah sentuhan kecil mendarat perlahan di pipi Rava. Shella menciumku, batin Rava. Tanpa membuka mata, Rava melengkungkan senyum penuh arti. Mencoba mengartikan apa yang dirasakan di pipi kirinya.

Plakkk... !

Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di bandara pipi Rava.

"Sakiiit...!" sontak Rava berteriak mengaduh.

"Gila kamu say. Digigit nyamuk segede tai kebo gini nggak kerasa," jelas Shella setelah berhasil dengan sukses membunuh nyamuk di pipi Rava. Rona merah membekas di pipi kiri Rava.

Rava mengatupkan mulutnya setelah sepersekian detik merasa takjub mendengar alasan cewek manis di sebelahnya itu. Sedetik kemudian, ia kembali tersenyum.

Plakkk... !

Shella menampar kembali pipi Rava. Namun kali ini membekas merah di pipi kanan.

"Kamu ganteng banget kalau pipinya merona begini say. Makanya aku tampar lagi biar kanan kiri sama-sama merah," ungkap Shella tersipu malu-malu.

"Kamu Romantis say." Rava meringis sambil menggosok-gosok kedua pipinya. Panas rasanya.

Senja benar-benar lenyap. Terusir beludru malam yang menyajikan kegelapan. Pendar-pendar lampu kota mulai mengerlipkan sinarnya. Sorot lampu taman bermandikan cahaya sejenak menghadirkan hening diantara dua sejoli ini.

"Say..." tanya Shella memecah keheningan.

"Hmmm..." jawab Rava sambil ngupil dengan jari kelingkingnya. Lalu dioleskan di bawah bangku.

"Sudah hampir setahun kita pacaran. Aku pengen kita serius dalam menjalani hubungan kita, biar jelas mau dibawa kemana, say," ungkap Shella.

Rava menoleh sejenak, lalu berdiri dan, "Mau dibaaawa kemanaaa... , hubungan kita... " ujar Rava dengan menirukan gaya vocalis armada. Tangan kanannya seolah memegang microphone sambil mundur selangkah demi selangkah.

"Hiiih... Serius! Kapan kamu ke rumahku dan ngomong ke orangtuaku buat meyakinkan mereka? Aku pengen kita tunangan." Shella terlihat serius.

Rava kembali duduk. Lesu, lunglai. Seolah bibirnya kelu. Bukan lantaran dia tidak bisa menjawab pertanyaan kekasihnya itu, tapi lebih karena haus. Dua jam lebih mereka di taman. Namun tak ada penjual minuman. Taman ini memang terlihat sepi.

"Aku belum berani, say. Kuliahku belum kelar. Skripsiku selalu ditolak."

Tiba-tiba kesedihan menyergap raut wajah Rava. Kedua tangannya meremas-remas rambutnya sendiri. Padahal sebelumnya digunakan untuk ngupil.

"Apa kamu nggak pengen meyakinkan orangtuaku yang selama ini nggak suka sama kamu? Ayolah say, dicoba," pinta Shella penuh harap.

Rava tergelak. Mulutnya terbuka mirip kudanil menguap. "Kamu pengen orangtuamu suka sama aku? Kalau mereka nyatain cinta ke aku gimana?" tanya Rava polos.

"Stres! Udah ah, aku mau pulang!" Shella tampak kesal.

"Bentar...  Bentar say..." Rava memegangi tangan Shella yang hendak bangkit dari tempat duduk.

"Jadi, kamu bersedia melamar aku? Kapan? Uuuh, makasih ya say..." Shella terlihat gembira. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Rava. Kini mereka berhadapan sangat dekat. Dekat sekali.
Dengan perlahan, Rava mengecup jemari kekasihnya, lalu berucap, "Bukan itu say. Aku cuma mau tanya. Ini taman kok sepi gini ya?" ujar Rava lirih.

"Ya jelas lah! Ini kan Taman Makam Pahlawan! Bego' !" bentak Shella setelah melepas genggaman. Dengan cepat ia mengayunkan langkah.

Rava terdiam. Terpaku di bangku kayu sudut taman. Memikirkan permintaan kekasih hatinya yang sangat dicintai.



Cerpen Komedi


***

Genap seminggu sudah hari berlalu setelah pembicaraan di taman itu. Dan itu membuat hubungan komunikasi mereka terhenti tanpa kejelasan. Setiap kali Rava mencoba menghubunginya, jawabannya selalu sama. "Ma'af. Nomor yang anda tuju tidak ingin dituju. Silahkan transit di halte berikutnya," suara operator ketika Rava mencoba menelponnya. Rava hanya menduga kekasihnya sekarang jadi sopir BusWay sehingga sibuk transit. Sebab Shella adalah pengemudi yang dikategorikan lincah dan bertenaga. Ah, cinta memang bikin GaRuDa, alias Galau menderu di dada.

Tapi demi sebuah pengorbanan cinta, di suatu senja memerah akhirnya Rava nekad menuju ke rumah kekasihnya. Dengan segenap jiwa dan raga, sampailah Rava di depan pintu rumah Shella. Ia berharap bisa meyakinkan kekasihnya agar mau menunggu keberaniannya menemui orangtua Shella.

“Say, aku sayaaaaang banget sama kamu,” ucap Rava setelah mendapati seorang cewek muncul dari balik pintu.

“Hemmm....” desah Shella tanpa ekspresi.

Shella duduk di kursi ruang tamu, diikuti Rava yang memilih duduk berhadapan dengannya.

“Kok sikap kamu dingin gitu sama aku, say?”

“Baru keluar dari kulkas.” Jawab Shella sekenanya.

“Owh....” Komentar cowoknya polos. “Kamu jangan marah lagi ya? Aku kan udah minta ma’af,” Rava menunduk, beraksi muka memelas, meski tanpa itupun dia selalu terlihat memelas.

“Lebih baik hubungan kita sampai hari ini aja,” ucap Shella pakem.

“Baiklah, aku akan pulang,” komentar Rava santai.

“Kamu kok nggak sedih sih?” Shella mengerutkan dahi.

“Kan kata kamu sampai hari ini aja. Besok kan masih bisa bareng lagi,” terang Rava menggaruk-garuk rambutnya yang kusam.

“Hiiiiiiiiiih...!!!” Shella menahan geram pada cowoknya.

“Kenapa lagi Say? Kamu sakit?” tanya Rava dengan keluguannya.

“Iya, sakit ati!”

“Aku kan setia, nggak selingkuh. Kenapa kamu sakit ati?” Rava heran.

“Huft... gimana ya cara jelasinnya biar kamu paham!”

Rava melongo mendengar kalimat Shella barusan. Shella yang melihatnya menjadi iba. Bukan lantaran kasihan akan kesedihan Rava, namun Shella merasa iba karena mulut Rava yang melongo meneteskan air liur.

“Aku udah mikirin mateng-mateng. Kalau kamu tetap nggak berani melamar aku, besok mungkin aku akan dilamar orang lain pilihan Ibuku.” Ucap Shella dengan mengancam.

“What? Dilamar? Aduhhh... ” Rava berucap lirih. Sakit dalam hatinya hanya mampu ditutup rapat-rapat dalam dada. Meski perih, sekuat tenaga ia mencoba tetap ceria. “Apa kamu mau jadi Siti Nurbaya? Sedangkan Siti Nurhaliza aja sekarang udah nggak laku.” tanya Rava dengan raut kesedihan.

“Ini demi masa depanku. Bukan aku tega sama kamu, setidaknya aku udah coba beri kamu kesempatan.” Shella semakin merasa bersalah.

“Kesempatan apa yang kamu berikan? Nelpon nggak pernah, SMS nggak pernah,” ucap Rava menirukan gaya sebuah iklan di TV.

“Bukan aku nggak punya pulsa... tapi aku buta aksara... ” rintih Shella mendramatisir.

“Masak sih?” dahi Rava mengkerut seketika.

“Maksudku, aku tuh males baca huruf di layar hp!” jelas Shella dengan kesal.

“Say.. pliss... Beri aku waktu setahun lagi untuk menyelesaikan kuliahku,” pinta Rava.

“Terserahlah apa katamu. Aku butuh cowok yang punya nyali. Punya keberanian sejati. Soalnya, hidup kita di hari-hari kedepan bakal lebih banyak lagi membutuhkan keberanian," ucap Shella menggurui.

Shella bangkit melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Rava dalam perih. Membuat dadanya sesak membiru.

Dengan langkah gontai, Rava meninggalkan rumah Shella.

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin disampaikan pada Shella, namun Rava tak mampu mengungkapkannya. Bukan! bukan lantaran Shella meninggalkannya. Bukan pula karena Shella memutuskannya. Tapi sesungguhnya Rava ingin mengatakan sesuatu hal yang lebih penting dan krusial. Bahwa ia tak punya ongkos pulang untuk naik ojek.

Selama berpacaran dengan Shella, ia diajarkan akan sebuah arti cinta, ketulusan, juga haru biru. Tapi untuk hari ini, cinta mengajarkan tentang keletihan. Karena, dengan terpaksa Rava harus jalan kaki sepanjang sepuluh kilometer menuju rumahnya.

***

Mentari baru saja mengusir embun di pucuk rerumputan. Rava bergegas ke ruang dapur setelah mencuci muka.

"Mungkin ini bisa membantu," ujar Rava dengan wajah sumringah ketika mendapati botol racun serangga di lemari dapur.

"Jangan lakukan itu, tuan. Bunuh diri adalah dosa besar," tiba-tiba bi Asih, pembantu di rumah itu muncul dengan tergesa-gesa menemui Rava yang memegang racun serangga.

Rava mengerutkan dahi. Heran akan perkataan pembantunya yang gembrot mirip sumpelan meriam.

"Siapa juga yang mau bunuh diri, bi? Gue nyari ini buat nyemprot gudang. Soalnya besok gudang mau di cat," terang Rava.

Dengan memasang muka Syahrini menahan berak, bi Asih berucap, "Owh, kirain mau bunuh diri tuan. Soalnya yang saya tahu,  tuan kan sedang bertengkar sama pacarnya."

"Sok tau lu," kata Rava menutup kembali lemari dapur.

"Eh tuan, ada surat buat tuan. Ini, terimalah," diserahkannya sepucuk surat dengan amplop berwarna merah jambu dengan gaya bak Dewi Kwan Im.

"Ma'af bi, gue nggak bisa menerimanya. Bibi bukan wanita tipe gue," ujar Rava bergaya seperti pangeran.

"Enak aja... Tuan pikir saya suka brondong cacingan kayak tuan?" bi Asih jual mahal.

"Lalu dari siapa bi? Jangan bilang kalau ini tagihan utang gue di warteg ujung jalan," tanya Rava dengan nada lirih.

"Tenang aja tuan. Ini surat titipan dari pacar tuan. Tadi non Shella kesini buat nitipin surat ini," terang bi Asih.
Reva tergelak. Seketika benaknya berkalung tanda tanya besar sebesar jangkar kapal Titanic (emang Titanic pake jangkar?).

Perlahan Rava membuka surat itu. Diamatinya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Namun tiba-tiba Rava menangis.

"Apa isi surat itu tuan? Apakah tuan benar-benar diputusin?" tanya bi Asih penasaran.

"Bukan bi, gue nggak bisa baca tulisan Shella. Sumpah, jelek banget... " Rava menunjukkan tulisan yang serupa mie keriting itu ke bi Asih sambil menahan tangis.

Dengan memasang gaya berfikir, bi Asih menggaruk-garuk kepalanya hingga ketombenya berjatuhan seperti hujan salju.

"Setahu gue cita-cita Shella emang pengen jadi dokter. Apa mungkin dia mempelajari ilmu kedokteran mulai dari cara menulis seperti dokter?" ucap Rava setelah berfikir.

"Lalu bagaimana tuan?" tanya bi Atun sok perhatian.

"Baiklah... gue harus minta bantuan dokter kayaknya buat baca," ucap Rava mantap.

"Saya bisa tuan!" tiba-tiba Tukijo, si tukang kebun ikut nimbrung. Ternyata dia dari tadi ikut nguping di belakang jendela.

Dengan susah payah, Tukijo masuk melalui jendela untuk ikut bergabung di ruang dapur.
"Cita-cita saya dulu juga dokter, tuan. Tapi dokter hewan. Berhubung Bapak saya melarang kuliah, akhirnya saya memilih jadi tukang kebun supaya bisa merawat cacing tanah, tuan," terang Tukijo dengan wajah yang tidak jauh beda juga dengan cacing.

"Benarkah kamu bisa?" tiba-tiba suara Ibu Rava terdengar dari arah ruang tengah. "He..he.. Ma'af saya tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kalian," kata Ibu Rava mengakuinya, hingga terpasang wajah Pamela Anderson habis mencret.

"Benar Nyonya besar. Tapi saya harus mengambil kacamata saya dulu di kamar saya. Sebentar," kata Tukijo yang langsung kabur ke kamarnya tanpa permisi.

Hening.

Mereka bertiga terpaksa menunggu Tukijo di dapur. Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga satu jam Tukijo tak kunjung kembali. Rava terduduk lemas di lantai dapur, sedang Ibunya merebahkan diri di atas meja. Bi Asih tidak mau kalah. Dengan santai dia hinggap di jendela.

"Begini saja. Sambil menunggu Tukijo, kita istirahat dulu. Yang mau makan silahkan makan dulu, yang mau mandi juga silahkan, yang mau twitter-an atau mau facebook-an juga silahkan. Nanti kita kembali kesini satu jam lagi," Rava mengambil keputusan.

Semua mengangguk. Sedetik kemudian, dapur telah sepi.

***

Satu jam kemudian mereka berkumpul kembali. Rava dan Ibunya, bi Asih, ditambah Ayah Rava, juga pak Dadang sopir ayahnya ikut bergabung.

"Bi Asih, simpan hape bibi ! Log out FB-nya," Ibu Rava memperingatkan bi Asih yang terlihat senyam-senyum sendiri sambil memandang layah ponselnya. Seketika itu muka bi Asih layu sebelum berkembang.

"Siapa yang FB-an? Ini cuma chatingan sama Bisma personil Smash. Katanya mau ngeluarin lagu baru, cinta cekot-cekot," bi Asih membela diri.

"Waooow... Bisma smash? Idola saya. Gantengnya..." ujar Ibu Rava takjub dengan gaya alay bin lebay menerawang ke langit-langit ruangan. Secara bersamaan, kotoran cicak jatuh tepat di hidungnya.

"Bha..ha..ha.. Makan tuh Bisma pake eek cicak," sahut Ayah Rava yang sebenarnya cemburu.

Seketika semuanya terbahak. Ibu Rava yang tadinya berbinar-binar kini kisut membersihkan hidungnya.

"Udah... Udah... itu Tukijo datang," kata Rava menunjuk ke arah Tukijo yang mandi keringat dan nafas kembang kempis.

"Ma'af menunggu lama. Soalnya kacamata saya pecah. Terus tadi ke tukang kaca dulu. Ini aja pake kaca nako," jelas Tukijo dengan ngos-ngosan. Lalu dipakainya kacamata setebal kamus itu. "Mana suratnya?" tanya Tukijo.

"Aduh. Gue lupa naruhnya lagi. Dimana tadi..." kata Rava sambil menepuk jidat.

"Ini yang kakak cari?" Calista, adik Rava yang masih SD tiba-tiba muncul dan membawa selembar kertas yang dimaksud. Benar-benar sinetron banget.

"Kamu nemu dimana? Sini, kasih Tukijo," Rava merebut surat itu dari tangan adiknya. "Hueek... Kok jadi bau gini suratnya. Lu apain ta?" tanya Rava.

"He..he... Tadi pas aku boker, airnya mampet. Nyari tissue nggak nemu. Terus ada kertas itu di meja. Aku pake aja," jawab Calista tanpa dosa.

Secara bersamaan semua yang hadir muntah-muntah. Kecuali Tukijo, dia tidak merasa jijik. Bukan apa-apa, hidungnya sudah tidak berfungsi normal akibat terinjak gajah waktu kecil. Makanya meski hidungnya pesek, tapi ngakunya dulu mancung.

"Tenang... Tenang... Saya bacakan ya?" ucap Tukijo menenangkan suasana.

Perlahan Tukijo membuka kertas merah jambu yang sekarang berhias kekuning-kuningan itu. Dibuka lipatan pertama, diputar, dijilat, di celupin. Eh salah, setelah membuka lipatan satu persatu dan terbuka seluruhnya, mulailah Tukijo mengeja kata demi kata.

Untuk Rava Sayang,

Sebelumnya Shella minta ma'af jika Shella menulis surat ini.

Rava sayang, mungkin kita sudah nggak bisa disatukan lagi. Bukan! Bukan karena kamu idiot. Aku tahu itu bawaan kamu lahir. Shella bisa nerima kamu apa adanya. Bukan juga masalah ucapanku kemarin. Sebenarnya Shella kemarin hanya mengarang cerita saja tentang lamaran itu. Tapi sungguh ini diluar dugaan sayang, Shella nggak menduga jika ternyata orangtuaku memang telah menjodohkan Shella dengan seseorang. Kebetulan banget ya? Namanya juga komedi. 

Terus terang, orangtua Shella benar-benar telah menjodohkan Shella dengan seseorang. Dan kembali lagi diluar dugaan, seminggu lagi sudah ditetapkan pernikahan. Memang banyak sekali hal yang terjadi di luar dugaan kita, karena mungkin di dalam dugaan sudah sesak makanya dugaan lebih memilih di luar.

Rava sayang, Shella nggak habis pikir, kenapa Shella nggak boleh memilih pasangan Shella sendiri? Shella sudah berulang kali menjelaskan pada orangtua Shella bahwa ‘Sheila on seven’ saja punya kekasih gelap, ’Sheila Majid’ juga sebentar lagi akan launching album barunya. Tapi mereka tetap saja ngotot mau menjodohkan shella.

Rava sayang, Shella sekarang nggak bisa berbuat apa-apa. Shella hanya ingin berbakti pada orangtua. Shella nggak mau jadi malin kundang. Sebab, maling sandal jepit saja dihukum bertahun-tahun. Restui Shella ya sayang?

Salam sayang,
Shella Alinda.

Setelah Tukijo menutup surat itu, airmata Rava tak mampu lagi terpidana. Tumpah membanjiri lantai dapur. Semakin lama tangis Rava malah semakin kencang. Ia mengerang dan meronta-ronta.

"Kamu kenapa nak?" tanya Ayah Rava menggoyang-goyang pundak anak laki-lakinya. Namun Rava tetap mengerang. Ratapannya semakin menjadi-jadi.

"Jangan-jangan kesurupan, tuan," celetuk pak Dadang yang dari tadi ngantuk karena semalam ikut ronda.

"Kesurupan? Hiiii... Ngeri... Kabur ah..." bi Asih tiba-tiba bergidik. Ia bergegas lari meninggalkan ruangan. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Bi Asih bernasib na'as ketika hendak mengambil langkah seribu. Kaki bi Asih terpeleset air mata yang membanjiri lantai dapur itu.

Brukkk !

Bi Asih jatuh pingsan dalam keadaan mulut terbuka, terkapar di lantai dapur. Tapi itu tak menyurutkan semangat Rava untuk menangis dengan sejadi-jadinya hingga membuat suasana menjadi mistis. Petir tiba-tiba menggelegar, hujan turun deras. Lampu-lampu di seluruh ruangan berkedip. Sebentar terang sebentar redup.

“Ada apa ini... “ kata Tukijo.

"Ma'af bapak-bapak, ibu-ibu, semua yang ada disini. Tegangan listrik sedang naik turun. Kami kesini dalam proses perbaikan," kata pria yang tiba-tiba muncul dengan seragam serba biru dongker.

"Owh, rupanya jaringan listriknya," Ayah Rava manggut-manggut.

Tapi setelah kemunculan pria berseragam itu, Rava seketika itu juga berhenti menangis. "Siapa luuu?" teriak Rava dengan nada dongkol. Tapi yang ditanya hanya ngeluyur pergi tanpa menghiraukannya. Rava merasa jengkel karena banyaknya tokoh bermunculan yang sebenarnya tidak penting. Dirinya yang sebagai aktor utama dalam cerita ini merasa tersingkirkan.

"Nak, papa ingin bertanya," tanya Ayah Rava mantap.

"Aku tahu pa, pasti papa ingin menanyakan tentang Shella kan? Nggak apa-apa, aku bisa menerima kenyataan ini, pa," ucap Rava menunduk.

"Tidak! Bukan itu nak. Papa ingin bertanya sesuatu. Apakah kamu kentut? Soalnya tiba-tiba bau banget disini," jelas Ayah Rava sembari menutup hidung.

"Anu tuan, saya yang kentut. Ma'af kelepasan. Mules soalnya tadi pagi makan rujak. He..he... " sahut Tukijo yang nyengir dengan wajah Brat pitt kejepit pintu.

Menghindari amukan papa Rava, Tukijo memilih beranjak dari tempatnya. Kemudian ia menggendong bi Asih yang pingsan menuju ke ruang tengah.

"Nak, apa pernah kamu berdo'a untuk hubunganmu dengan Shella?" tanya Ayah mulai serius.

"Selalu pa. Pagi, siang, juga malam aku selalu berdoa agar hubungan kita selalu terjaga. Mau makan, mau tidur, mau boker, selalu kupanjatkan do'a untuknya," jawab Rava dengan ingus sisa-sisa tangisan yang meler dari hidung. Sesekali ia menjilatnya. Asin.

"Tapi kamu pasti tidak pernah berdo’a agar diberi kekuatan untuk tegar ketika harus kehilangan?”
Rava menggeleng.

 Itulah manusia, selalu bersiap menjadi pemenang tanpa mempersiapkan diri jika kekalahan yang akan menghampirinya," terang Ayah Rava sambil berdiri.

"Iya pa. Aku sekarang mengerti," ucap Rava mulai menyadari akan garis takdir.

Lalu perlahan Rava mulai menegakkan punggungnya untuk berdiri. Kemudian jongkok, berdiri lagi, jongkok lagi, "hehehe... Olahraga bentar. Ternyata capek juga nangis," tawa Rava.

Akhirnya Ayah dan Ibu Rava tersenyum. Mereka bertiga saling berpelukan. Menyadari tidak ada yang mengajak pelukan, Pak Dadang langsung memeluk kulkas.


-sekian-



Semoga cerita Komedi ini lucu meskipun garing banget :D

Abnormalitas Schizophrenia ; Cerpen tentang Sastra Masa Kini

$
0
0
Salam, inilah cerpen yang lahir karena realitas masa kini. Mulai dari realitas pemuda, perkembangan karya sastra, hingga realita kapitalisme. Dan inilah bentuk idealisme saya yang saya tuangkan dalam bentuk Cerita Pendek.

Cerpen tentang Sastra 


 Abnormalitas Schizophrenia

Jelaga telah membekukan kelam malam, namun kantuk masih enggan bersahabat. Aku terkapar dalam kegelisahan yang tersaji di sudut kamar. Malam yang gerah perlahan membawa pikiran dalam persetubuhan otak yang tak pernah klimaks. Menghidangkan kegamangan atas kehidupan yang telah kutempuh lebih dari seperempat abad. Lima tahun kerja lima ribu perak kini terselip di dompet. Kuliah yang tidak kelar, hanya beberapa semester lalu memilih kerja. Menikah? motor butut saja kurang lima kali angsuran. Mamakku sudah cerewet minta menantu. Ah, mengapa waktu melenggang tanpa menungguku yang belum sempat kaya? pertanyaan yang membujuk impuls saraf untuk menegang.

Tiba-tiba pikiran ganjil bin aneh menusuk-nusuk tempurung kepala. Aku berteriak keras, sakit tak tertahan di sela sekat kepala. Urat-urat menegang mengejang. Tiba-tiba muncul sebuah bayang. Sebuah kepala bertubuh aneh kini tersenyum di hadapanku. Hanya berjarak beberapa inchi dari wajahku, hingga tercium busuk bau mulutnya. Untuk sesaat seluruh rangkaian kosmos berhenti. Aku bangkit dan membenturkan kepala pada jendela. Berharap ini hanya ilusi. Hingga benturan paling keras, dia justru terbahak. Wuah, inikah tanda-tanda kegilaan?

 Cerpen tentang Sastra


“Manusia bodoh.” Tiba-tiba suara membuatku terhentak.

“Sss..siapa lu?” tanyaku terbata-bata mengakhiri benturan.

“Benar-benar bodoh, gue itu elu. Tolol banget jadi orang!” bentaknya.

Aku tergelak, ” Dari mana lu muncul?”

“Gue lahir dari perselingkuhan pikiran tolol dengan beban hidup yang lu tanggung. Ketika bulan padam dan laut diam,” jelasnya.

What?aneh, tapi sedikit ketakutan berkurang melihat tampangnya serupa rontokan kemoceng.

“Sok puitis lu,” komentarku mulai rileks.

“Gue kan elu, berarti elu dong yang sok.” Makhluk itu kembali tertawa.

“Lalu apa tujuan elu tercipta?” heranku berkalung tanya.

“Menemani seorang bujang lapuk yang tak laku-laku menghadapi lika-liku hidup. Laki-laki yang pura-pura selalu terlihat ceria, tapi sebenarnya rapuh. Dengan adanya gue siapa tahu ketololannya bisa sembuh.” Mata merahnya terpancar kedamaian. Kedamaian yang entah seketika kurasakan teduh.

“Memangnya gue tolol gitu?” aku mengerutkan dahi.

“Enggak, tapi goblok!”

“Gue nggak ngerasa,” jawabku seraya melipat tangan di dada.

“Nah, itu juga salah satu ketololan elu. Sebuah ketololan yang tak pernah berkesudahan.” Dia tertawa lagi.

“Dialog lu udah kayak film indonesia aja.”

“Emang kenapa?”

“Sumpah, bikin gue mual.” ketusku.

“Emang kenapa?”

“Emang kenapa, emang kenapa? Sekali lagi nanya gitu gue sunat bibir lu. Gue bosen aja sama bombastis film indonesia yang suka latah. Sekarang lagi musimnya cinta-cintaan bernafaskan agama. Sejak suksesnya film ‘Ayat-Ayat Cinta’ belakangnya pada ngekor. Ada kerudung cinta, tasbih cinta, tahmid cinta, mukena cinta. Jangan-jangan entar muncul sarung-sarung cinta, haa..ha.. Eh, ada lagi yang unik, sekarang ada lima madzhab. Satunya madzhab cinta. Ha..ha..ha..”

“Mending sinetron dong ya?” komentarnya.

“Semua sama saja. Latah semua. Dari mulai inayatun, hidayatun, solehatun, mar’atun, sampai toyibatun. Ngakunya sinetron religi, tapi masih aja ada tayangan cewek nggak nutup aurat. Pengajian cewek cowok nyampur, zina mata tuh. Mendingan sekalian nonton tersanjung atau cinta fitri yang sekuelnya tujuh turunan”jawabku sekenanya.

“Emang kenapa? ups.. Ma’af bos khilaf. Ah sok suci lu. Jangan suka protes. Lu aja belum tentu bisa bikin film kayak gitu.”

“Hello… Jangan jadi orang udik[1] lu. Memangnya nggak boleh berkomentar kalau bukan anak cinematographi atau broadcast? Karya yang sudah dilepas ke pasar itu milik publik. Jadi sah-sah saja siapapun berkomentar. Kalau nggak mau dikritik ya angkremin aja di bawah pantat.”

“Jangan sentimentil gitu dong. Santai saja. Anak muda itu nggak usah mikir berat-berat. Bergaul, mencari hiburan. Gaul dong!”

“Gaul? Gue udah capek ngeliat anak muda yang ngaku gaul jaman sekarang. Hanya karena trend mereka jadi kehilangan identitas. Mengadopsi produk-produk massal luar negeri yang membodohi bangsa yang sudah bodoh”

“Kalau kehilangan identitas mah gampang. Tinggal ngurus ke tempat pak Lurah. Ha.. Ha..”

“Yang goblok itu gue apa elu sich?”

“Oke-oke lanjut bos.”

“Sumpah gue mau muntah ngeliat dandanan anak muda jaman sekarang. Bergaya tapi nggak tau maksud dan tujuannya. Model rambut polem[2] dengan celana kecil ke bawah. Ngakunya emo. Pas ditanya apa itu emo jawabnya ‘nama wallpaper’. Ada lagi, kemarin pas konser grup band Wali. Yang dateng dandanannya serba punk. Rambut menantang langit, pake kalung rantai kapal pesiar, celana jeans belel plus jaket ngepres dengan tulisan ‘anti sosial’. Pas Wali bawain lagu ‘bukan bang toyib’, busyet dah pada ngejingrak semua. Pada hafal liriknya di luar kepala, bahkan sampai teriak-teriak nyanyi di bibir panggung”

“Lah, emangnya lu punya identitas?”

“Setidaknya gue nggak ngikut apa yang gue nggak tahu cuma karena biar di bilang trendy. Sebenarnya kita nggak perlu memaksakan kehendak jika kita yakin dengan filsafat dan prinsip yang kita pegang dan nggak mudah terpengaruh apa kata mereka “

“Pantesan nggak laku, nggak gaul sih lu!”

“Kalau gaul model gitu bikin kaya, gue bakal jadi orang pertama yang gaul.”

“Makanya kerja yang bener biar kaya. Lu setengah-setengah sih. Tentuin dong lu pengen disebut apa. Fokus.. Fokus.. Man”

“Katanya elu itu gue. Harusnya lu tau dong gue pengennya orang nyebut gue apa?”

“Hehhhh… Gue ludahin juga lu lama-lama. Ditanya malah balik nanya.” kesalnya.

“Penulis aja lah. Kenapa?” jawabku mengangkat dagu.

“Bhahaha… Emang buku apa yang udah lu terbitin?”

“Apa seseorang harus menerbitkan buku dulu baru disebut penulis?gue punya banyak teman cyber yang nulis puisi, cerpen, prosa, juga essay dengan bagus. Tapi jarang karya mereka diterbitkan. Apa mereka juga tidak layak disebut penulis?”

“Orang kan butuh pengakuan publik atas karyanya.”

“Enggak bisakah kita menyebut diri sesuai keinginan kita? kenapa kita harus tunduk pada kemauan orang, pada norma yang kadang tidak relevan dengan kondisi. Jangan men-judge sesuatu dari penglihatan saja.”

“Wadezig… Sok banget lagu lu ! Kesan pertama itu terlihat dari bungkus luar. Inget kan sama omongan mamak lu, ‘Ajining rogo gumantung soko busono, ajining diri soko lati‘[3].”

“Elu tahu, pas kemarin gue dateng ke acara di sebuah Hotel. Penyanyi disana begitu dihormati pengunjung. Dan gue sempet ngobrol dengannya, ternyata dia jadi penyanyi buat biaya sekolah empat adiknya. Di hotel dia begitu disegani karena dia berwibawa. Padahal cuman lulusan Tsanawiyah. Tapi konsekuensinya di masyarakat dia dicap jelek. Masyarakat memberikan label atas sesuatu yang nggak mereka tahu. Menentukan benar atau salah atas pemikiran yang dangkal. Kadang gue muak hidup dimasyarakat model gitu. Beras murah kalah laku sama gosip. Ha..ha..”

“Toweweng… Emang lu mau hidup di hutan?”

” Yah, tidak bisa tidak. Seorang apatis harus memilih; berkubang dalam lumpur kekosongan atau berkawan dengan hidup, begitu kata Wdji Thukul.”

“Jadi lu ngerasa apatis?” Mahluk itu semakin mendekatkan mukanya ke arahku.

“Ya, karena gue apatis sama realitas. Gue cuma ngelakuin apa yang seharusnya dilakuin.”

“Wah, kalau jadi tentara lu bakal jadi orang apatis dalam satu pleton. Mungkin malah sekompi.”

“Up to you lah! Mau apatis, egois, idealis, puitis, praktis, narsis, gratis, minimalis, gue gak peduli.”

“Nah, kenapa lu nggak nerbitin buku sendiri aja?sekarang kan banyak tuh lembaga penerbitan. Istilah kerennya Self Publishing. Makin terbuka kebebasan buat berkarya cipta”

“Memang disatu sisi gue patut berbesar hati dengan menjamurnya lembaga penerbitan. Tetapi kebebasan saja tidak cukup, menciptakan karya sastra itu butuh keluasan juga kedalaman wawasan. Dan juga daya kreativitas yang tinggi. Kebanyakan sekarang karya tertulis dianggap sastra. Padahal belum tentu karya tertulis itu karya sastra. Nilai-nilai filsafat dan religi itu penting untuk sebuah karya sastra. Tanpa itu, karya hanya seonggok teks bisu dan hampa."

Anehnya, penulis sekarang banyak yang bersemangat menulis tapi menjauhi nilai-nilai tersebut. Maka jangan heran jika sekarang banyak karya sastra yang isinya Pop saja. Tapi bukan berarti ahli filsafat atau ulama itu sastrawan juga. Kadang kalau gue pas ke toko buku lalu menyempatkan ke bagian sastra, disana cuman dapet kekecewaan. Banyak berderet buku teenlit dan chicklit. Apa lagi kalau bukan tentang cerita remaja yang dramatis terlalu indah dengan dialog terlampau biasa. Miskin pesan moral. Kenalan-cinta-berantem-happy ending. Dan nggak bakal laku kalau nggak gitu. Trend yang berbicara. Kapitalisme merajalela. Takut nggak laku kalau nggak ikut seperti itu. Mungkin pemahamanan tentang sastra dianggap sebagai hiburan semata. Dan hal inilah yang sulit diharapkan kemajuan karya sastra kita. Tapi agaknya gue lupa bahwa suka atau tidak suka, kita semua sepertinya mengidap autisme.”

“Elu tuh pinternya menghina doang. Mending jadi kritikus sastra lu.”

“Wah, kritikus sastra juga sekarang banyak pindah haluan. Banyak penulis menganggap kritikus itu benalu. Bahkan sempat terjadi sastrawan religius ternama dengan kalimatnya yang bersahaja. ketika karyanya dikritik, mudah naik pitam, seperti orang yang habis nenggak[4] alkohol.”

“Sok tau lu, selera orang kan beda-beda. Dan nggak semua penulis seperti apa yang lu bilang. Atau elu bikin aja karya yang beda dari yang sudah ada.”

“Gue masih ngerasa bodoh....”

“Nah, itu ngaku.” potongnya diserti tawa.

“Mau dilanjutin nggak nih?” aku menatapnya tajam.

“Ups… Oke, gue bakal jadi pendengar yang baik.”

“Penulis sekarang lebih banyak mengandalkan imaji tak terbatasnya tanpa melihat kaidah-kaidah, padahal terkadang mengartikan ‘Cerita’ dengan ‘Plot’ saja masih belepotan. Alhasil novel-novel sekarang hanya berisi cerita mentah yang belum diolah menjadi plot. Parahnya lagi penggunaan bahasa untuk karyanya menggunakan bahasa harian.”

“Lho, kalau karya untuk remaja ya memang pakai bahasa harian lebih efektif kan? toh tidak semua pembaca yang tahu tentang sastra.”

“Itulah masalahnya, kita terlalu dinina-bobokkan oleh hal kecil yang berdampak besar. Lihat saja, anak muda jaman sekarang merasa asing ketika membaca bahasa indonesia yang baik dan benar. Aneh kan? Bahasa sendiri nggak tahu. Lebih klop pakai bahasa gaul. Dari virus Debi Sahertian, Cinta Laura, Syahrini, kini menyebar juga virus Alay.”

“Orang kere aja belagu. Pede banget sih lu!”

“Nggak ada alasan buat gue rendah diri. Gue mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan buat gue meski gue terlahir di tengah-tengah keluarga kurang mampu. Hidup ini terlalu berharga jika hanya untuk merenungi nasib. Terima aja dengan keikhlasan.”

“Gue tahu jauh di lubuk hati terdalam lu itu rapuh. Bersyukur? lantas kenapa lu gak pernah sholat? jangan-jangan elu pindah aliran Atheis ya?”

“Eits… Sekate-kate [5] lu. Jangan suka menuduh sembarangan. Bisa jadi kafir lu.”

“Lah sarung aja cuma buat selimut. Sholat jum’at kalau diajak bapak kost doang. Munafik lu.”

“Kata guru ngaji gue dulu ‘dahulukan ahlaq sebelum fiqih’. Intinya yang penting jalin kerukunan dulu. Gue mengikuti ajakan bapak kost menimbang kerukunan. Daripada gue dibenci ama dia”

“Hemmmm…. Gini ni jadinya kalau belajar ilmu agama lompat-lompat. Fiqih belum kelar lari ke Tauhid, Tauhid belum kelar lari ke Nahwu, belum kelar lagi udah pindah ke Tasawuf. Lu sebenarnya pinter tapi lu keblinger. Udah tau hukum sholat tapi nggak sholat.”

“Lah, kalau gue sholat lu angus dong. Kan elu setan,” aku terbahak.

“Yah, setan teriak setan.” umpatnya.

“Udah balik sono ke neraka, gue mau istirahat. Besok kerja pagi.”

“Gue tunggu kedatangan lu di neraka. Nanti gue kasih acara sambutan marawis dan tanjidor. Ha..ha..”

Sejurus kemudian tawanya memekakkan telinga, lalu perlahan menghilang diantara temaram kuning sinar bohlam.

“Setan lu!” teriakku.

Aku tersadar oleh peluh yang membanjiri meja. Panas berdesak-desakan dengan cahaya lampu lima watt. Kepalaku terasa begitu berat. Seluruh persendian serasa kaku. Pegal-pegal di setiap anggota badan. Aku memilih terpejam di kasur tua. Dengungan kipas angin perlahan membawaku terlelap.

========
Catatan Kaki:
[1] Kampungan
[2] Poni Lempar
[3] Pepatah Jawa: Kehormatan raga terlihat dari penampilan dan, kehormatan diri terlihat dari tutur bicara
[4] Minum
[5] Sekata-kata; istilah penghinaan dalam bahasa Betawi

Kumpulan Puisi-puisi Liris Karya Wirasatriaji

$
0
0
Salam Sakit dan tetap Sakit. Kali ini saya akan coba membagikan Puisi Liris yang saya buat. Semoga termasuk dalam kategori Puisi Liris. Mengapa? Pengertian Puisi Liris saat ini sudah banyak mengalami perluasan makna. Sekedar pengetahuan, mari sedikit kita kupas dulu yang dimaksud dengan Puisi Liris.

Secara umum, lirisisme itu merupakan bentuk dan ciri tulisan yang bernuansa romantis atau berhubungan dengan keindahan. Pemaknaan dasar secara umum tersebut dapat terjadi karena akar lirisisme di Indonesia, sudah kuat menopang seenjak jaman sebelum angkatan Balai Pustaka. Ciri umum lirisisme yaitu terutama menggunakan metafora yang indah dan penyampaian secara halus. Tidak menggunakan kata-kata sarkas. Inilah pemahaman dasar umum yang dimaksud dari tulisan lirisisme.

Puisi Liris


Ada artikel dari Kompas Online edisi Maret 2008, kurang lebih kutipannya begini: " ..,Afrizal Malna, yang berbicara tentang ”Mata Bahasa”, mengatakan, lirisisme merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern. Mainstream lirisime mengalami pembusukan oleh dirinya sendiri sebagai produk budaya lisan yang diturunkan lewat media tulisan.

"Berkembangnya seni pertunjukan pembacaan puisi sejak tahun 70-an, memperlihatkan ketegangan yang signifikan antara media lisan dan media tulisan dalam puisi. Sebagian besar penyair yang membacakan puisinya justru seperti melakukan pembunuhan atas dimensi tulisan puisi-puisinya sendiri yang dibacanya. Aspek kelisanan mengatasi aspek tulisan,” katanya.

Afrizal menduga, banyak penyair Indonesia mengalami hal di mana mainstream puisi yang menguasai cara-caranya menulis puisi, tidak bisa lagi berjalan sama dengan perkembangan intelektualitasnya dan kenyataan yang dihadapinya. Artinya, lirisisme memang pada dirinya sendiri tidak memiliki kapasitas menghadapi realitas bahasa di sekitarnya."

Perlu diketahui bahwa lirisme jika merunut dari jaman sebelum Balai Pustaka, seorang penyair yang menulis puisi Liris tentu mengalami ketegangan antara lisan dan tulisan. Mengapa? Pada masa itu Indonesia masih dijajah, untuk menulis sebuah karya merupakan hal yang hampir mustahil.

Ekspresi bersastra orang-orang pada jaman itu lebih banyak pada seni pertunjukan yang di dalamnya ada (keterampilan) berbalas pantun..dengan demikian dapat dikatakan, lirisme(dalam menulis)berasal dari sebuah ekspresi lisan(hanya merupakan asumsi yang belum dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris-ilmiah). Nah, sampai pada Angkatan 66, definisi tersebut sudah bergeser ke arah yang lebih luas lagi. Lirisisme bukan lagi eksklusif sebuah karya dengan bercirikan Melayu sebagai patokannya. Terlihat dari karya-karya Chairil Anwar yang ekspresif, yang "melenceng" jauh dari kebiasaan Melayu. Hal inilah yang menjadikannya sebagai pendobrak kesustraan Indonesia yang pertama.

Liris pada dewasa ini, secara umum lebih bersifat individual, bahkan mungkin agak egosentris, cenderung tendensius, dimana sebuah karya yang tercipta seolah merupakan "petualangan-romantisme" dari sang penulis yang eksprasif.

Itulah sedikit gambaran mengenai pengertian Puisi Liris dan Sekilas Sejarah Liris. Dan inilah Kumpulan Puisi-puisi Liris yang coba saya buat. Dengan berbekal keterbatasan kemampuan dan Imajinasi semoga ini termasuk kategori Puisi Liris.

Kumpulan Puisi-puisi Liris


Puisi Liris karya Wirasatriaji


DENGARKAN BISIK LAUTAN

Lautan kata ini cuma membisu, sayang. Ia tak tumpahkan isinya untuk kekosongan hatimu. Ia tak sentuhkan lidahnya ke jemari kakimu yang kotor oleh pasir. Tak pula mengajak bibirmu berpagut dengan dinginnya hawa yang serba sia-sia.

Tentu saja ia cuma membisu.  Sebab kau tak dengar panggilannya.

Dengarlah buih-buih pucat menyebut namamu. Berbisik sedemikian halus, mengajakmu turun dari singgasana yang tentram. Tapi hingga sedemikian jauh perjalanan kita, kau hanya mendengar gelegar petir di langit.

Dan kau pun tak kan tahu, betapa dalam lautan ini. Tidakkah kau rasa kesedihan didalamnya? Menyelamlah, sayang. Hingga ke palung-palung terkelam. Terlupakan.

Lihatlah, sayang.  Lautan ini begitu luas. Akan selalu ada tempat untuk kegelisahan kita. Sejarah itu memang terasa sentimentil dan penuh dengan hal-hal yang romantis.



BIDADARI KECIL

Di suatu ketika dalam hidupku, aku menemukan seorang bidadari kecil. Ia menangis sendiri pada tembok muram yang tergilas ratapan musim. Kulihat wajahnya sembab oleh airmata, bahunya berguncang menahan derasnya isakan, nafasnya tersendak oleh udara lembab. Suara-suara yang didengarnya kian menikam hatinya. Perlahan matahari tenggelam oleh badai airmatanya. Sayapnya yang kecil berkepak-kepak lemah. Pada gaunnya yang seindah sutra kutemukan kelembutan mendalam, juga ketidak berdayaan. Tatapnya menyiratkan kehausan.

Kutarik guratan senyumku untuknya, kukecup kening mungilnya, dalam isak tangisnya yang masih menggema. Haruskah kuberikan nyawaku untuk membuatnya bisa tersenyum lagi? Kulihat airmatanya menetes lagi. Dan kali ini jatuh ke dalam hatiku. Perih


Mencintaimu dengan Sederhana

Disini, aku mencintaimu dengan sederhana. Aku hanya ingin melihatmu terlelap, seperti bayi-bayi mungil yang kuintip di rumah sakit. Bayi-bayi yang hidupnya masih bergantung pada orang dewasa. Tangan-tangan yang mungil, kaki yang terlihat rapuh, mata yang kecil, juga tangis yang mendamaikan. Begitu manis, begitu indah, begitu suci. Mengapa mereka harus menjadi besar dan dipaksa mengikuti perputaran dunia yang semakin gila ini? Tidakkah kamu ingin menjadi bayi?


Aku sayang kamu, seperti halnya sayang orangtua pada anak-anak yang telah mereka lahirkan tanpa mau sedikitpun mengabaikan, dan ingin memberikan yang terbaik dengan cara sendiri. Menyayangimu dimana darimu aku mendapati kebahagiaan tanpa eros. Tidakkah kita ingin seperti mereka? saling mencintai dengan konsep yang agung. Memandang cinta sebagai sesuatu yang seharusnya dijalani, bukan di konsepkan dengan kebutuhan fisik dan kriteria-kriteria.



 Rindu

Kupejamkan mataku dan membayangkan hadirmu berikan hangat dan kita menyatu dalam desah nafas memburu. Candunya mengikat hasratku setiap waktu. Berbulan bahkan bertahun sudut itu selalu kita hiasi dengan canda, tawa, desah nafas kita dan kita teguk anggur dalam cawan cinta kita. Sehingga hampir saja aku membuat rumah dalam sudut yang gelap yang dindingnya masih tercium bau keringat kita. Masih terngiang di telingaku saat kautiupkan lembut kata setiamu dan kulihat terselip tulus di lipatan telingamu. Lipatan-lipatan yang sering aku ciumi saat rindu menggangguku.

Tahukah engkau apa yang kuimpikan saat ini bila aku punya banyak waktu bersamamu? Akan kuajak kau menikmati keheningan desa di lembah Cantabria. Atau sekedar memandangi langit biru di sepanjang Andalusia. Lalu menggengam tanganmu mengunjungi Granada dan Cordoba. Aku hanya ingin mencari tahu apakah keindahannya dapat menandingi apa yang selama ini kupandang dalam dirimu.



 MENCINTAIMU


Aku mencintaimu seperti danau yang tenang, juga bergelora serupa ombak di lautan. Seperti api yang membakar, juga seumpama air yang membasuh. Seperti tiupan sepoi angin, juga amukan badai

Aku mencintaimu serupa ikan yang membutuhkan air, serupa kupu-kupu yang hinggap di pucuk-pucuk bunga, seperti gelap yang menggantikan terang, seperti matahari yang tak pernah padam.

Aku mencintaimu di tengah keramaian, juga dalam pelukan sepi. Aku mencintaimu ketika pagi dan malam, juga ketika hari hujan, ketika menit terpecah menjadi detik. Bahkan diantaranya, aku selalu mencintaimu.




 UNTUK NYAI-KU

Aku duduk untuk Nyaiku, karena malamnya engkau datang dalam setengah pejam, setampah gambar-gambar, setumpuk perkamen, seonggok sunyi, dan sebaris kata rindu pada perempuan yang berdiri di ujung senja melambai-lambaikan pelepah pucat, memanggil-manggil teriak kesenyapan dalam fajar tempatku berdiri.

Tak mungkin kau berlari lalui terik menumpang angin dan tak mungkin aku memotong jalan kiri-kanan.

Aku duduk untuk Nyaiku yang merapal mantra kerinduan menanti genggaman tanganku yang tergelepar di pecut rindu-rindu menggelegar.

Aku duduk disini untuk Nyaiku. Karena aku rindu lembutmu, rindu sayangmu, rindu belaimu, memanjakanku di atas pangkuan keibuanmu. Usap kesadaranku, dendangkan lagu hidup, getarkan jiwa manjaku, sandarkan segala resah mendesah-desah, berikan satu titik akhir petualangan cinta, satu titik akhir, karena engkau bisa menghitung langkahku.

Salam Rindu untuk Nyaiku 



"Selamat Siang Perempuan Kecilku"

Selamat siang perempuan kecilku, aku rindu padamu.
Di sela-sela kertas, kedap-kedip monitor, alunan Tonberry (Aku nggak tahu sekarang band ini masih ada atau enggak), dan gemeritik terbakarnya tembakau menetak sketsa wajahmu. Tampak wajahmu kala asap mulai mengepul kemudian menghilang ditelan exhaust ruanganku. Namun tiada bosan kucipta dan terus kucipta sketsa wajahmu. Mungkin karena aku mencintaimu atau sekedar sayang padamu. Lalu kutinggalkan ruangan yang penuh aroma imperialisme-kapitalisme. Kau tahu aku benci ini, namun belum juga aku bisa memerdekakan diri.


Lihat Juga Puisi Kontemporer Wirasatiaji


Mungkin cukup segitu dulu Puisi Liris yang belum tentu Liris, semoga bisa menjadi inspirasi anda. Salam Sakit dan Tetap Sakit.



Maukah Kau Menikah Denganku?

$
0
0
Dan aku ingin belajar setia pada sebuah janji untukmu. Sayangku, pil manis getir telah kita lalui hampir 6 tahun bersama menjalin 'percaya'. Belajar teguh pada sebuah ikrar yang tak tersurat. Setia pada lingkaran yang dilambangkan dengan warna merah jambu.

Mengapa cinta selalu diidentikkan dengan warna merah jambu? Sungguh tidak rasional bukan? Ah, tapi cinta memang sering tak rasional sayang. Sama seperti tidak rasionalnya cinta kita yang mampu bertahan sampai dua ribu seratus dua puluh lima hari hingga hari ini. Aku, si angkuh yang tengil dan kamu, si biru yang pencemburu. Dan kita mampu bersama dalam cinta yang kutahu bukan merah jambu.

Maka, biarkan dingin mendahului muntapnya rinai kata. Sungguh ingin mendekapmu dalam gerimis. Harumu-haruku kukumpulkan menjadi gamis. Sayangku, masihkah kauingat pertemuan terakhir kita. Sebuah pelukan singkat, intens, dan kejam yang kauhadiahkan padaku. Sebab sesudah itu, pelukanmu mampu membelah ujung-ujung rambutku penuh rindu; meranggaskan benakku seperti hutan jati di musim kemarau. Terkadang tiba-tiba menohok lamunanku dan buyarkan kurva persinggungan kita.

Cap Kaki Tiga, Setia, Manfaat


Sayangku, memang tak banyak cerita yang kita buat, sebab kebersamaan kita hanya kalau aku menunjungimu di rumahmu. Sebab kamu memang bukan tipe petualang yang suka pergi kemana-mana sebagaimana aku yang suka menyeret kaki kemana-mana. Kamu pencinta rumah sejati, aku juga, tetapi aku juga pencinta perjalanan panjang menelusuri kota-kota yang belum pernah kujejaki. Dan kamu akan setia menungguku di rumahmu, sebab sejauh aku pergi, akan selalu pulang ke tempat dimana kamu dilahirkan, dimana aku titipkan kerinduan pada tubuh lembutmu.

Jujur, padahal berulangkali aku meruntuhkan segala mitos tentang cinta dan kesetiaan. Dan aku tak tahu lagi apa artinya cinta, apakah masih sama seperti aku lima menit yang lalu atau sudah lain. Sebab, hidup di jaman sekarang memang haruslah demikian. Aku juga tak tahu lagi tentang apa yang kuinginkan dan apa yang kulakukan. Inikah rasanya menjadi seorang manusia? Inikah rasanya mengalir bagaikan air? mungkin aku sedang mengalir ke comberan.

"What is Setia?" tanyamu padaku sore itu  lewat benda mungil yang suka melahap pulsa dengan rakus.

Nyaiku sayang, kedengarannya pertanyaanmu itu mudah kujawab. Tapi sungguh, aku tak tahu mesti menjawab apa. Aku bukan filsuf atau ahli teologis, cuma seorang pacar yang kadangkala tak bisa diandalkan. Jawabanku pasti tak bakal memuaskanmu. Lagipula, rasanya aku ini bukan orang yang punya keyakinan cukup kuat terhadap sesuatu. Mungkin karena itulah aku tak pernah benar-benar berhasil dalam menjalani hidup.

Aku heran, akhir-akhir ini engkau mulai mengurusi hal-hal tentang "Setia" dan semacamnya yang kuanggap aneh. Ataukah sebenarnya aku yang aneh, kurang mengenalmu dengan baik? Tapi aku senang kau sudah bertanya padaku, seorang pacar yang kadangkala tak bisa diandalkan dan mungkin kurang bermanfaat dalam hidupmu. Ini membuatku berpikir tentang hubungan kita, dan juga hal-hal yang sempat kupandang dengan skeptis. Menyenangkan bukan, ternyata kita masihlah manusia biasa dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar soal kemanusiaan.

Aku tak pernah menghitung berapa jari yang sudah kugunakan untuk menghitung hari tanpamu. Long Distance Relationship, meski aku tak ingin percaya jarak mampu menentukan kualitas hubungan. Aku memang tak bisa merangkai cerita sebagus mereka yang mengidap Psycodramatis. Tak bisa menjadi seseorang yang Melankolis stadium tiga. Sehingga aku pun tak bisa bercerita padamu bahwa rindu ini demikian jitu memilin ubun-ubunku.

Betapa saat kelam mencumbui raut bulan, jiwa ini takut pada malam. Sebab ketika malam datang, hingar bingar aku dipecundangi sepi yang membelai rindu akanmu. Betapa sendiriku pun tak mampu menyatu dengan buaian bayangmu. Aku juga  tidak bisa dipaksa merangkai cerita serupa Ayat-ayat Cinta dengan dialog yang membosankan. Tak bisa mencipta kisah picisan sengeri lirik-lirik lagu indonesia yang makin hari makin memuakkan.

Pada pagi hari yang tenang tempat sayap-sayap cahaya merekah merindukan nyala awan, pada kupu-kupu yang menjauhkan ajal dari setiap pepohon, pada embun yang selalu menjanjikan kebeningan, mari sayang, mendekatlah bersama rindu yang kian menggelegar. Kupejamkan mataku dan membayangkan hadirmu berikan hangat dan kita menyatu dalam desah nafas memburu. Candunya mengikat hasratku setiap waktu. Berbulan bahkan bertahun sudut itu selalu kita hiasi dengan canda, tawa, desah nafas kita dan kita teguk anggur dalam cawan cinta kita. Sehingga hampir saja aku membuat rumah dalam sudut yang gelap yang dindingnya masih tercium bau keringat kita. Masih terngiang di telingaku saat kautiupkan lembut kata setia darimu dan kulihat terselip tulus di lipatan telingamu. Lipatan-lipatan yang sering aku ciumi saat rindu menggangguku.

Sayangku cintaku honey Bunny Sweety Baby ... yang lebih kusukai memangilmu dengan Nyai, jika kau mampu mengerti tentang ketulusan itu, mari kita diskusikan kembali sebuah ketulusan yang pernah kulayangkan dalam ponselmu. Seikat kesempurnaan yang masih kausimpan dalam folder pribadimu. Menyatukan janji yang terekam di kepala. Lalu kurengkuh sayapmu, kubawa terbang pada sebuah rumah yang diwariskan alam kepadaku. Untuk kemudian memulai intro cerita baru dengan sketsa celoteh anak-anak kita, Sayang, Maukah kau menikah denganku?

Puisi Menyambut Ramadhan

$
0
0
Sebentar lagi ramadhan kembali tiba. Waktu memang cepat berlalu, kereta hari terus melaju lewati lorong waktu yang kian memanjang. Ada suka, duka, perih, lelah dan juga semangat menjadi warna pada setiap kepingannya. Seberapa bermaknakah hidup ini? Pertanyaan yang bagiku harus dijadikan mata sekaligus cermin bagi diri sendiri. Sebagai alarm jika suatu ketika aku terjatuh dan lelah.

Ramadhan telah datang lagi. Bulan yang katanya mampu untuk kita kontrol diri. Dan aku, semakin hari memang semakin sakit, liar, licik, bejat, kotor, kurang ajar, dan (mungkin) brengsek. Harapanku ramadhan kali ini bisa membawaku lebih baik, meski setiap tahunnya harapan ini selalu jadi harapan yang klise. Untuk itu, ijinkan aku untuk mengawalinya melalui untaian Puisi Tentang Ramadhan ini, semoga bisa menjadi doa yang membawa keberkahan.

puisi ramadhan

Puisi Tentang Ramadhan


"SELAMAT DATANG RAMADHANKU"

Selamat datang Ramadhanku
Biarkan aku menyambutmu dan bermain di purnamamu
Lalu singgah sejenak dari riuh jerit nafsu
Biarkan aku minum oase sejukmu
Lalu berteduh di rindang taman suasanamu
Karena...
Cukup terik egoku membakar
Cukup tajam nafsuku menikam
Dan karat usia semakin melebar

Selamat datang Ramadhanku
Ijinkan aku membasuh jiwa dahaga
Dengan zikir dan doa dari dinding nurani
Bersama kemilau cahaya-MU
Sebelum izrail mengepakkan sayap untukku.

Amin....


Puisi Tentang Ramadhan


Makna Pertemuan

$
0
0
"Apakah makna pertemuan?" tanya seorang pemuda kepada sang sufi.

Sang sufi hanya menatap datar pemuda di depannya. Diam tak bergeming.

"Apakah makna pertemuan?" kembali pemuda itu mengulangi.

Mencoba tersenyum, membujuk sang Sufi menjawabnya. Sang Sufi tetap diam. Lagi-lagi hanya menatap datar.

"Apakah makna pertemuan?" pemuda itu belum menyerah, bertanya ke tiga kalinya. Ke empat, ke lima, ke enam, ke tujuh, hingga ke sepuluh kalinya. Kemudian pemuda itu menangis.

Sang sufi masih tetap diam.

"Tuan, ribuan kilometer aku berjalan hanya untuk bertemu denganmu. Menghabiskan bulan-bulan sepanjang tahun ini hanya untuk mengerti makna satu kalimat itu. apakah makna pertemuan? mengapa Tuhan kadang seolah sengaja membuat kita bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin kita temui, tapi sebaliknya malah tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang ingin kita temui," terang pemuda itu.

"Apakah makna pertemuan. Mengapa sebuah pertemuan terkadang bisa memicu kembali seluruh kesedihan, kebencian, atau kegembiraan. Rasa rindu, juga kenangan masa lalu. Mengapa sebuah pertemuan bisa terjadi di situasi yang benar-benar tidak terduga, tidak mungkin, dan tidak-tidak lainnya. Tapi ia tetap saja tega terjadi," pemuda menerawang, mengisahkan benak yang tergambar. Rasa keingintahuannya begitu besar, "aku mohon, jawablah..." ratapnya.

Sang Sufi menyeruput teh, lalu kembali diam. Lagi-lagi hanya menatap datar. Sejenak kemudian Sang Sufi menunduk. Pemuda itupun ikut menunduk.

Sudahlah, tak akan kudapatkan jawaban. Sebaiknya aku pulang, pikir pemuda itu. Tapi persis saat si pemuda hendak bangkit, hendak pamit pulang, Sang Sufi entah kenapa membuka mulutnya,"apakah itu pertemuan? apakah itu makna sebuah pertemuan?" suara Sang Sufi terdengar amat bijak, meski menghela nafas berat.
.
"Kau datanglah ke Perempatan Kesesi, tepat pukul 16.15, hari jum'at, 21 Agustus, seratus tahun dari sekarang. Maka kau akan berkesempatan mengerti dengan memperhatikan hati-hati dua wajah yang salah tingkah, entah mau berkata apa ketika pertemuan yang mereka 'inginkan' itu terjadi. Simak perbincangan mereka, gesture tubuh mereka, wajah merah mereka, maka kau akan mengerti. Itulah makna sebuah pertemuan," sang Sufi tersenyum.

tentang Makna Pertemuan


Terlihat sinar cerah terpancar dari si Pemuda.


 *) Saduran dari catatan Tere-Liye di Blog Multiply


Mencintai tidak Selalu Bahagia

$
0
0
Kayaknya saya harus setuju dengan kalimat "Mencintai nggak selalu berarti bahagia". Sebab setelah semua yang pernah saya rasakan lagi-lagi terjebak dalam kalimat itu. Ada berbagai macam dan bentuk cinta yang ada dan ditawarkan di muka bumi ini. Entah itu cinta bersyarat, cinta tanpa syarat, atau cinta yang bermasyarakat. Lalu apa semua bisa disebut dengan cinta?

Agaknya dalam hidup ini, cinta itu memiliki standarisasi masing-masing. Relatif. Namanya relatif, ya nilainya bakal tergantung dari kacamata si penilai, tergantung yang mengutarakannya meski dia bukan seorang penilai ahli. Tapi, kalo boleh saya berpendapat, ini yang mungkin paling cocok buat semua jawaban cinta. Baik bagi yang pernah patah hati, patah tulang, atau sedang jatuh cinta.

Mencintai tidak Selalu Bahagia


Gini, kenyataan sebenarnya di dunia ini, orang yang mencintai nggak selalu berarti bahagia. Apakah berarti jadi kebalikannya, bahwa orang yang dicintai harus selalu bahagia? Namun lagi-lagi akan bernilai relatif juga. Sebab semisal dicintai dengan cara posesif juga nggak enak. Dicintai dengan banyak aturan juga nggak enak. Malah banyak nggak enaknya.

Otak ini lagi muter-muter mikirin masalah ini, namun nggak dapet ujungnya.

Sory, hal ini mungkin cuma dialektika yang nggak bakal ada habisnya. Sebab bakal selalu ada tesis, antitesis, dan sinte.

Bisa diterima?

Lelaki Pahlawanku ; Sebuah Cerpen Tentang Gay/Homo

$
0
0
Salam, masih berbagi mengenai cerpen. Berikut ini saya coba berbagi membuat cerpen yang mengangkat tema tentang Cerpen suka sesama jenis atau Homo. Dalam cerita ini mengetengahkan cerita laki-laki yang suka sesama jenis. Cerpen tentang gay ini saya buat tanpa maksud apapun, hanya mencoba membuat cerpen dengan sudut padang orang kedua(kamu, kau).

Cerpen tentang sesama jenis ini mungkin agak vulgar jika dilihat dari kata-katanya. Memang saya bawakan dengan gaya yang frontal dan tanpa banyak kalimat dekoratif. Saya sengaja membuat agar tidak terlalu panjang sehingga hanya berbentuk Fiksimini. Selamat membaca Cerpen tentang suka sesama jenis ini.

Sebuah Cerpen Tentang Gay/Homo


Lelaki Pahlawanku
Oleh : Wirasatriaji

Kamu adalah lelaki dalam topeng buatan sendiri, sebab kamu adalah bocah yang malu pada realitas yang menghantui. Ibumu cuma gadis kampung yang dinikahi lelaki yang sesungguhnya mencintai kakak dari ibumu, tetapi sang kakak sudah punya calon suami. Sementara ayahmu adalah seorang muslim yang taat, meskipun hal itu tidak menjadi jaminan bahwa dia bisa berlaku selembut Rasulullah terhadap keluarganya. Bagimu, ayahmu serupa monster penghisap darah dengan wajah mengerikan dan bau menjijikan.

Kedua kakak laki-lakimu yang membuat Rumah Pohon di kebun belakang rumah, gemar mengurungmu disana berhari-hari ketika ayah dan ibumu sedang pergi. Sementara mereka, sesuka hati pergi dan berkeliaran di jalan-jalan kota kami yang sempit itu, sebab itu hari kemerdekaan bagi mereka. Tak ada ayahmu yang mendengar bunyi derap kakinya saja membuat kalian menahan takut.

Begitulah hari-harimu, terdampar di Rumah Pohon yang diluarnya diletakkan seekor ular besar untuk menjaga supaya kamu merasa takut untuk keluar. Sampai terkadang kakimu kesemutan, tubuh kamu mengeriput dan otakmu mati.

Hingga sampai umur enam belas tahun, kamu belum tahu cara masturbasi. Kemaluanmu tumbuh tidak sempurna. Ia hanya bisa ereksi ketika melihat laki-laki, bukan perempuan. Alangkah anehnya. Tetapi kamu terlambat menyadarinya, sebab kamu terlalu lama dikurung di Rumah Pohon itu. Ibumu sekalipun tak bisa membantu kamu turun dari sana karena terlalu sibuk mengurus rumah, dan dia juga takut sama ular.

Kakak-kakakmu, ketika ayahmu pergi, sering membawa teman-temannya ke rumah. Sampai suatu ketika salah satu dari teman kakakmu itu menjadi pahlawan sekejap bagimu, sebab dia berani membawamu turun dari Rumah Pohon. Diam-diam pada suatu malam yang gelap. Tak ada bulan yang mengintip, tak ada bintang yang memandang.

Waktu itu dia membawa sebuah obor, lalu menyuruh ular itu untuk pergi ke hutan. Hus... tempatmu bukan disini, katanya pada ular itu. Lalu dia menggendongmu menuruni Rumah Pohon. Tubuhnya benar-benar kokoh untuk membopong tubuh kecilmu.

Sepanjang perjalanan menuju markas, begitu dia menyebut tempat yang akan kalian tuju, berkali-kali kamu mengucapkan terimakasih padanya. Saat itu kamu menganggapnya sebagai pahlawan yang menyelamatkanmu dari sekapan. Hanya itu. Tetapi itu tidak berlangsung lama, sebab ketika tiba di markas, yang ternyata sebuah saung di tengah sawah, dia membaringkan tubuhmu disana.

Disana kamu bisa mendengar suara air yang mengalir dari satu sawah ke sawah lain. Jangkrik dan berbagai binatang malam lainnya bersuara. Kamu masih teringat bau tanah basah dan bau apek tikar pandan yang menjadi alas saung pembaringamu.

Lalu dia ikut berbaring di sebelahmu, mendekapmu dan mengatakan dia sangat sayang padamu. Kamu balas memeluknya, sebab kamu merasa hangat dan nyaman. Tapi kamu merasa ada sesuatu mengganjal di selangkangannya yang menempel di perutmu, sesuatu yang keras. Dia menuntun tanganmu menuju benda itu. Tanganmu yang kecil digenggam tangannya yang kokoh. Tanganmu menempel pada selangkangannya yang menggumpal. Kemudian dengan tangannya dia menuntun tanganmu menggosok-gosok, sambil terus mengatakan bahwa dia sayang padamu. Kamu bingung, sebab dia terus menekan-nekan tanganmu pada selangkangannya. Setelah itu dia membuka celananya, memunculkan benda yang waktu itu belum kamu pahami fungsinya. P*nis. P*nis pertama yang kamu lihat selain milikmu. P*nis lelaki tujuh belas tahun yang kamu anggap pahlawan.

Cerpen Tentang Gay/Homo


Aku juga sayang sama kamu, desahmu.


Baca Juga Cerpen Tentang Uang

Lelaki Pahlawanku ; Sebuah Cerpen Tentang Gay/Homo

Sebuah Puisi Untuk Ayah

$
0
0
Salam, tiba-tiba ingin posting puisi yang dulu saya tulis saat ayah saya meninggal. Inilah Puisi Untuk Ayahsaya waktu meinggal karena kecelakaan kereta api di tahun 2010 lalu. Puisi Buat Ayah ini saya tulis secara spontanitas saat saya masih dalam perjalanan dari jakarta pulang ke Batang dan tak sempat melayat Ayah saya menuju ke pemakaman.

Puisi ini memang sederhana karena saya tulis sedang dalam keadaan berduka. Tetapi ketika saya membaca puisi untuk ayah ini saya selalu meneteskan butrian airmata karena selalu teringat Ayah. Inilah Puisi tentang Ayah persembahan Untuk Ayah.


Puisi Untuk Ayah

Puisi Untuk Ayah


Sungguh,
tak sanggup rangkaikan kata,
tak sanggup kuuntai makna
Bila harus kuungkapkan
Tentang sebilah rasa kehilangan

Andai kita masih bisa mengulang
Tawa canda, marah terbiasa
Andai waktu masih milik kita
Kutuntaskan baktiku padamu... Ayahku

Kini, engkau telah pergi
Rasanya takkan siap kami
Kehilangan cahaya
Sosok panutan langkah mendatang

Ayah... ini anakmu datang padamu
Maafkan anakmu yang tak sempat mengantarkanmu
Langit mendung turut berduka
Orang-orang riuh rendah bercerita
Tentangmu dan kebaikanmu

Ayah... ini anakmu datang padamu
Semilir di bawah kamboja dan nisanmu
Mengenang salah dan dosaku padamu
Mengenang bantahku akan perintahmu

Ayah... ini anakmu datang padamu
Restui aku menggantikanmu
Memikul tugas yang belum tertuntaskan
Restui aku menggantikanmu
Menjadi dewasa dan sabar
Dan bagaimana seorang ayah harus berjuang demi anak-anaknya.

Ayah... ini anakmu datang padamu
Aku siap mengemban tanggung jawab darimu
Segera kuselesaikan semua perjalanan
Meski tanpa engkau berdampingan
Karena di dalam diriku pun
Aku menemukan sejatinya dirimu 

Selamat jalan ayahku
Do'a anak lelakimu terus mendampingimu.

Inilah puisi untuk Bapak atau Ayah saya waktu meninggal 1 Februari 2010 silam. Semoga bisa memberikan inspirasi bagi teman-teman. dan bagi yang masih memiliki orang tua lengkap, sayangilah mereka sebelum menyesal. Berbaktilah pada mereka mumpung masih bisa. :)

8 Fakta Unik Pernikahan Ali & Usnul

$
0
0
Salam. Tanpa terasa ternyata sudah hampir 2 bulan saya tidak posting blog pribadi saya ini. Selain sibuk dengan blog komersil lainnya, karena memang 2 bulan lalu saya telah melepas masa lajang. Yap, melangsungkan salah satu sunnah rosul untuk membentuk sebuah keluarga. Menikah dengan salah satu keturunan Hawa yang sudah menemani saya 5 Tahun lebih 11 hari dengan status sebagai seorang kekasih.

Tepat 5 tahun lebih 11 hari saya memutuskan kekasih saya dengan mematahkannya dengan sebuah ikrar 'Qobiltu'. Rencananya sih mau 5 tahun tepat, tapi keluarga saya memang masih memegang adat Jawa yang masih memakai hitungan sehingga ketemulah tanggal 24 Syawal 1435 H bertepatan dengan 21 Agustus 2014 yang jika dihitung berarti 5 Tahun lebih 11 hari.

Kalau Pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita saja banyak media yang meliput, nah saya yang punya blog ya saya liput sendiri. Makanya biar kayak artis saya coba merangkum sendiri beberapa fakta unik seputar acara pernikahan saya. Inilah 8 Fakta unik dalam Pernikahan Saya Ali dan Usnul.


Fakta Unik Pernikahan


8 Fakta Unik Pernikahan Ali & Usnul


FAKTA #1 : Dua Jumlah Mas Kawin

Seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa kita menikah setelah 5 tahun pacaran sehingga saya membuat 2 jumlah mas kawin (Selain seperangkat alat Sholat) dengan disesuaikan tanggal pacaran dan tanggal pernikahan, yaitu :

Rp. 10.082.009,-
yang menyatakan tanggal jadian yaitu 10 Agustus 2009

Rp. 2.182.014,-
yang menyatakan tanggal pernikahan yaitu 21 Agustus 2014

Fakta Unik Pernikahan



FAKTA #2 : Tumplek Ponjen

Karena saya anak pertama dan Istri saya anak terakhir, maka dalam adat jawa ada prosesi yang dikenal dengan sebutan Tumplek Ponjen karena Anak Pertama Ketemu Anak Terakhir. Tumplek Ponjen ini bermakna membuka modal rejeki bagi pasangan karena anak terakhir yang biasanya manja dan masih bergantung pada keluarga akan mengarungi kehidupan baru yang pasangannya anak pertama dan biasanya anak pertama yang keluar dahulu dari sebuah keluarga seolah tidak punya bekal. Sehingga tumplek ponjen ini bermakna memberikan modal awal untuk mengawali keluarga.

Prosesi tumplek ponjen diawali dengan adat menarik seekor ayam yang sudah matang. Sepasang mempelai saling tarik menarik ayam tersebut lalu siapa yang mendapatkan paling besar katanya rejekinya akan lebih besar, itu adat jawa.

upacara adat Pernikahan jawa
Saya dapet bagian lebih gede :D


Prosesi Tumplek Ponjen selanjutnya dengan membuka pintu. Jadi waktu kita di panggung seolah-olah kita mempersilahkan semua yang hadir untuk naik, nah kita menyediakan sebuah kantong dan mempersilahkan siapapun untuk memberikan modal awal pada kita berdua agar bisa kita gunakan untuk memulai menghimpun keluarga.

tumplek ponjen
Tuh, pada ngantri mau ngasih sumbangan modal


FAKTA #3 : Tanpa Ayah

Nah, kalau ini yang dimaksud sebenarnya bukan ini, tapi bingung judulnya apa. Jadi gini, karena ayah saya sudah meninggal 4 tahun lalu (Lihat di Puisi Untuk Ayah) gara-gara hal ini ibu saya tidak mau naik ke panggung karena tidak ada pendamping Ayah. Akhirnya saya dan istri saya yang turun untuk prosesi sungkem. Banyak yang ikut menangis karena terbawa suasana.

prosesi sungkem jawa
Kiri Mertua - Kanan Ibu saya


FAKTA #4 : Batik Tiga Negeri

Di tempat saya tinggal, orang menikah biasanya saat akad nikah itu memakai sarung. Ibu saya adalah seorang pembatik tulis konvensional. Untuk pernikahan saya, ibu telah membuat sepasang kain dengan motif Batik Tiga Negeri yang dibatik dengan tangannya sendiri. Proses membatik 2 kain ini memakan waktu sekitar 3 bulanan dan diproses oleh ibu saya sendiri mulai dari membuat pola, membatik dengan canting dan lilin malam, sampai proses warna semuanya ibu lakukan sendiri. Ibu membuatkannya sebagai hadiah khusus buat saya. Thanks Mom :'(

Dan konon kalau orang jawa percaya kalau kain yang saya dan istri saya pakai untuk Akad Nikah itu bisa untuk obat  anak saya nantinya kalau sakit. Kain itu dicelupkan pada air dan airnya untuk mandi sang anak yang sakit.

Batik tulis tiga negeri
Batik Tiga Negeri


FAKTA #5 : Tanpa Foto Akad Nikah

Karena pernikahan kita dilakukan dengan landasan agama islam, saat proses Akad Nikah kita tidak mau tercampur dengan hal yang sebagian ulama menganggap Haram. Sebagian ulama menganggap hukum foto atau gambar bernyawa hukumnya haram, sehingga dari Kyai yang menikahkan kami tidak ingin adanya proses penciptaan foto dalam prosesi suci ini. Akad Nikah itu adalah Ikrar Suci dan saya tidak ingin terusak dengan hal yang Bathil. Berikut beberapa potongan hadist mengenai hal ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,  ia berkata: Saya mendengar Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan lalat atau semut kecil (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari no. 5953 dan Muslim no. 2111, juga Ahmad 2: 259, dan ini adalah lafazhnya)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah tukang penggambar.” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)


Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan."” (HR. Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)


Sampai-sampai buket bunga ucapan selamat dari perusahaan karena ada gambar burungnya saja sampai dipotong kepalanya.



FAKTA #6 : Tanpa Undangan Wanita

Karena saya juga ingin tetap dalam koridor islam dalam acara suci ini, saat acara ramah tamah dengan teman-teman dan sahabat saya dilakukan sebelum acara akad nikah. Jadi, undangan saya untuk rekan-rekan adalah malam sebelum akad nikah dan yang saya undang hanya teman laki-laki saja sehingga dalam acara tersebut hampir semuanya kaum adam, baik tamu yang hadir maupun pelayannya.



FAKTA #7 : Bukan Orkes Tapi Pengajian dan Rebana

Jika pada umumnya di daerah saya, saat acara resepsi diberikan hiburan orkes dangdut dengan biduan bohai dan seksi, seperti yang saya bilang dari awal saya mau tetap dalam koridor islam sehingga saya memberikan hiburan Rebana dan Pengajian dari Kyai.

Rebana yang saya undang juga rebana murni klasik yang hanya menggunakan rebana, bukan yang sudah tercampur dengan keyboard atau organ tunggal. Meski dengan alat klasik namun mereka bisa membawakan sholawat-sholawat modern.

Sedangkan kyai berceramah mengenai bab Membina Rumah Tangga yang sakinah. Cocok kan? :D




FAKTA #8 : 10 Domas

Domas atau gading adalah orang yang biasanya mengiringi atau mendampingi kedua mempelai dalam prosesi paes hingga selesai resepsi. Kalau Gading biasanya terdiri dari orang dewasa sedangkan anak-anak biasanya dikenal dengan nama Domas.

Nah, konon Domas ini bisa memancing keberkahan adanya karunia anak, sehingga ada yang percaya jumlah domas adalah gambaran jumlah anak di kemudian hari, ini kepercayaan jawa.

Busyet, masak anak saya sepuluh? :-o

adat jawa


Demikian 8 Fakta tentang pernikahan saya Ali dan Usnul. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi yang akan menikah. Salam.


Kismiasih ; Sebuah Proyek Novel

$
0
0
Salam. Kali ini saya akan sedikit bercerita mengenai proyek Novel yang semoga bisa selesai saya kerjakan. Ada beberapa BAB yang telah selesai. Ini adalah novel yang sudah lama saya kerjakan namun belum selesai sepenuhnya. Nah, berhubung ada Gramedia Writing Project, saya coba untuk saya ikutkan. Semoga ada semangat tersendiri untuk saya selesaikan.

Novel saya ini saya beri judul "KISMIASIH". Judul ini diambil dari salah satu tokoh didalamnya. Tokoh yang binal, dan berkarakter keras. Dengan setting abad 20-an, novel ini mencoba mengangkat kehidupan tahun jaman dahulu. Bagaimana cerita dari Novel Kismiasih ini, berikut Blurb dari Novel ini:

Novel Sastra


KKAN - PO Madjallah

Diterbitkan oleh:
Gunseikanbu


Djakarta, Tanggal 10, Boelan 11, Syoowa 18 (26030) 

MENGGERAKKAN TENAGA PEKERDJA OENTOEK KEPERLOEAN PEPERANGAN DAN MASYARAKAT

Rapotan Boenkai II, jang telah disahkan oleh Tyuoo Sangi-in dengan soeara boelat:
Karena dengan segera dipentingkan tenaga kaoem boeroeh jang amat banjak goena mentjapai kemenangan akhir dalam peperangan Asia Timoer Raja, jang tentoe akan terdapat, maka perloelah membentoek badan-badan, jang diwadjibkan mengoempoelkan boeroeh-boeroeh serta mengandjoerkan semangat bekerdja jang timboel dari kehendaknja sendiri, hingga mereka dengan soeka rela dapat dikerdjakan di-lain daerah dari tempat tinggalnja.

***

Mulyani Prihatmojo termangu. Ia memandang sekeliling, mencoba menilai nilai kekayaan yang diraihnya dengan tangannya sendiri. Pandangannya berhenti pada perbukitan yang menguning di balik jendela. Disana, ratusan hektar tanah dan ladang tebu adalah miliknya. Seketika ia merasa apa yang ia miliki menjadi hangat, hanya menunggu segalanya menguap. Berapakah nilai sebuah nyawa? Apakah ia sebanding dengan apa yang aku miliki saat ini? Apa yang aku perjuangkan dengan seluruh daya yang ada, dan hampir menghabiskan separuh hidupku, kebahagiaanku untuk mendapatkan segalanya? Mulyani berperang batin. Ia tak mampu menahan kesedihan dan kebimbangannya. Wanita berhati baja itu menangis. Seketika bayangan suaminya, Aji terlintas di benaknya, menari-nari di depan matanya. Ia mengakui, segala sesuatu yang seharusnya dilakukan Aji tapi mampu dilakukannya.

Sebuah kisah drama yang mengharukan dengan setting tahun enampuluhan di kabupaten Pekalongan . Tiga bersaudara, Sekar, Mulyani, dan Kismiasih dengan karakteristik yang berbeda, berusaha untuk menyatukan perbedaan yang telanjur menjurang sejak kematian orang tuanya. Mulyani sebagai anak kedua memiliki karakter keras, tegas, ulet, cerdas, kaku namun setia. Dia memegang tampuk perusahaan usaha pabrik gula warisan orang tuanya, mengelolanya, mengembangkan dengan begitu baik.

Mengapa tidak anak tertua yang mengurusi bisnis keluarga? Sekar, anak tertua yang merupakan kakak Mulyani tidak bisa diharapkan. Ia mengidap penyakit kutukan, begitu masyarakat menafsirkan nama penyakitnya. Sekar, gadis malang yang tidak pernah mengecap bebasnya dunia. Tidak memiliki teman, tidak pernah pergi bersenang-senang seperti layaknya kedua adiknya. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Semenjak remaja, teman-teman sebayanya menganggap Sekar mengidap penyakit kutukan akibat ulah orangtuanya yang kejam dan semena-mena terhadap para buruh di pabriknya. Benar-benar menjijikkan. Dengan liur yang terus menerus keluar dari mulutnya setiap kali ia berbicara, terbata-bata. Pandangan matanya seperti juling. Dan gerak-geriknya kaku, lamban seperti robot. Ia bahkan tidak mampu menyuap makanannya sendiri dengan benar. Untuk berpakaian pun ia masih harus dibimbing. Walaupun demikian, ia masih dapat membaca dan menulis dengan benar meski terkadang dengan hasil yang tidak berbentuk. Sangat bertolak belakang dengan Mulyani yang cerdas dan Kismi yang supel dan sensual. Sekar? Anak gadis yang malang. Satu-satunya tempat yang paling dikenalnya adalah rumahnya.
Lalu seperti apakah Kismiasih yang supel dan sensual itu? Bagaimana mereka menghadapi pemberontakan buruh di tengah kondisi sosil ekonomi yang tidak stabil? Apa hubungannya kondisi sosial yang menyangkut buruh dengan keluarga Prihatmojo? Bagaimana nasib Sekar si pengidap penyakit "kutukan" itu? Semuanya ada di Novelet "KISMI"

    

Penasaran untuk BAB pertama dan selanjutnya seperti apa? cek perkembangannya di http://gwp.co.id/kismiasih/ untuk update setiap BAB-nya.

Sebuah Negeri Tanpa Nama ; Fiksimini Tentang Kedamaian

$
0
0
Sebuah Negeri Tanpa Nama, demikian aku menyebutnya. Tempat kabut dan hujan berpelukan. Dimana matahari selalu kalah oleh kegarangan dingin. Kau hanya bisa menikmati hangatnya sebentar saja. Tetapi disini, tempat pertemuan dan perpisahan terjadi. Rumah-rumah beratap dan berpintu rendah, supaya dingin tak terlalu menusuk. sewaktu-waktu hujan bisa turun tak kenal musim.

Kita pernah meringkuk dalam tenda diantara rimbun pohon-pohon purba yang lembab. Dari jendela kaca rumah ini, kita bisa melihat hamparan ladang milik manusia-manusia yang lega oleh yang kita sebut kemelaratan. Mereka, orang-orang itu tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di pusat kota. Apakah para pemimpin saling menghajar dan menghujat, apakah hipokrisi dan kapitalisme makin merajalela. Manusia-manusia itu tidak pernah mengeluh, seperti kita yang merasa selalu kurang. Inikah konsep hidup yang sebenarnya? Ketika ada atau tidak ada uang di tangan, kita masih bisa tersenyum dengan ikhlas.

Fiksimini Tentang Kedamaian


Para Bapak dan Ibu-ibu selalu pergi pagi mengusir dingin dengan kaki telanjang ke ladang. Menenteng keranjang yang kelak diisi rumput untuk makan ternak, atau sayuran yang hendak dijual ke pasar. Adakah mereka saling mencintai sebelum menikah? tapi kulihat tatapan cinta di mata mereka. Kecintaan pada anak-anak yang telah mereka lahirkan tanpa mau sedikitpun mengabaikan dan ingin memberikan yang terbaik dengan cara sendiri. Tidakkah kau ingin seperti mereka? Saling mencintai dengan konsep yang agung. Memandang cinta sebagai sesuatu yang seharusnya dijalani, bukan dikonsepkan dengan kebutuhan fisik dan kriteria-kriteria.

Mereka, manusia-manusia itu, selalu menyapa kita dengan keramahan yang sempurna dan ikhlas. Aku rindu manusia-manusia itu.

Puisi Untuk Ibu di Hari Ibu

$
0
0
Salam. Kali ini saya akan mencoba menulis Puisi Untuk Ibu. Puisi Tentang Ibu sebagai persembahan di Hari Ibu. Puisi tema Ibu ini sebagai bentuk sayang dari saya ke ibu, meski sampai kapanpun saya tidak bisa membalas apa yang pernah ibu berikan pada saya.

Puisi Ibu ini sebenarnya sudah saya tulis sejak lama, tapi belum sempat saya posting di blog ini. Sebelumnya hanya saya posting di catatan fb saja. Puisi ibu ini saya tulis sekitar 3 tahun lalu pada waktu masih produktif menulis. kalau sekarang jujur saya sudah jarang menulis. Mungkin krane fokus pada keluarga baru kali ya :D

Baiklah, berikut puisi tentang ibu yang saya buat untuk ibu tercinta di hari ibu.
Puisi Tentang Ibu

Puisi Tentang Ibu


Segalanya Bagiku

Yang tak lelah mengasihiku
Yang tak luput mendoakanku
Ibu, segalanya bagiku

Pada sekeriputan paras waktu
Kauusir malamku yang tergugu pilu
Dimakinya bulan hingga tertunduk malu
Demi lelapnya aku

Dan sajian pesona kasihmu
Adalah sekumpulan mawar yang selalu mekar di empat musim
Melimpah kasih kurasakan, sejuta cinta kudapatkan
Tundukkan mentari menyengat pada langkah yang terhambat

Lalu, dengan parau suara sendu
Pada antara sepertiga malam sujudmu
Kaugamis rahmat untuk anakmu

Usaplah air matamu, Ibu

Mungkin susu tak lagi bisa kautitipkan Di sela-sela kerongkonganku
Mungkin susu yang kucicipi tak sekental dahulu
Mungkin botol susuku tak lagi sebuah 'botol susu'

Namun, Ibu
Dekapanmu ketika aku takut di temaram sepi
Nyanyianmu yang antarku ke alam mimpi
Semua itu lebih dari sebotol susu.


Selamat Hari Ibu, Ibuku yang paling manis dan akan selalu manis.


Demikian Puisi Tema Ibu, dan............. Selamat Hari Ibu untuk Ibu di Seluruh Dunia :)

Puisi Mbeling Karya Wirasatriaji

$
0
0
Salam. Sekedar berbagi pengetahuan mengenai Pengertian Puisi Mbeling sebelum saya menulis Puisi Mbeling.Dalam bahasa jawa, kata 'mbeling' berarti nakal atau suka memberontak terhadap kemapanan dengan cara-cara yang menarik perhatian. Namun berbeda dengan kata urakan, yang dalam bahasa Jawa lebih dekat dengan sikap kurang ajar, kata mbeling mengandung unsur kecerdasan serta tanggung jawab pribadi.

Apa yang hendak didobrak oleh puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku. Puisi Mbeling adalahpuisi yang membumikan persoalan secara konkret, langsung mengungkapkan gagasan kreatif ke inti makna tanpa pencanggihan bahasa.

Puisi Mbeling

Puisi Mbeling 


Puisi mbeling adalah bentuk puisi yang tidak mengikuti aturan. Aturan puisi yang dimaksud ialah ketentuan-ketentuan yang umum berlaku dalam puisi. Puisi ini muncul pertama kali dalam majalah Aktuil yang menyediakan lembar khusus untuk menampung sajak, dan oleh pengasuhnya yaitu Remy Silado, lembar tersebut diberi nama "Puisi Mbeling".

Kata-kata dalam puisi mbeling tidak perlu dipilih-pilih lagi. Dasar puisi mbeling adalah main-main. Ciri-ciri puisi mbeling Mengutamakan unsur kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat).

Lalu apa bedanya Puisi Mbeling dengan Puisi kontemporer? Jika Puisi Kontemporer, muncul pada masa kini yang bentuk dan gayanya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi pada umumnya, puisi yang lahir di dalam kurun waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya. Sedangkan Puisi mbeling lebih mengacu pada ke-apaadanya pemilihan kata. Secara awam sebenarnya sulit dibedakan antara Mbeling dan Kontemporer tetapi Puisi Kontemporer bisa berupa puisi yang sulit dibaca dan diartikan, lihat pada Contoh Puisi Kontemporer Wirasatriaji.

Dan inilah Kumpulan Puisi-puisi Mbeling yang coba saya buat. Dengan berbekal keterbatasan kemampuan dan Inajinasi semoga ini termasuk Mbeling.


Kumpulan Puisi Mbeling Karya Wirasatriaji



DATANG DAN PERGI

a
ku
datang
ka
mu
pergi
aku pergi kamu datang kamu pergi aku datang
kita pergi kita datang
mereka diam

KUTANG

Kutangmu tak menjadi kutangku
Karena dadamu merah tak membiru
Celanamu tak menjadi celanaku
Karena milikmu lebat di segala penjuru


 ***

 Kisah Kasih

Jalinan kisah kasih yang mengisahkan sepasang kekasih tentang kasih untuk kekasih yang terkasih hingga jadilah kisah tentang kasih.

Sepasang kekasih yang selalu merindu kekasih terkasih yang terjalin dalam kisah kasih pasangan kekasih dalam balutan kasih menjadikan kisah kasih sepanjang kisah dengan kasih yang terkasih dari kekasih.

Datanglah wahai kekasih, datanglah dalam kasih agar menjadi kisah tentang tangis kasih, tawa kasih, rindu kasih, peluk terkasih, dan kasih yang terkisah dalam kasih kita yang saling mengasihi agar terukir kisah kasih sepasang kekasih yang akan selalu terkisah dalam kasih.

Inilah kisah tentang kasih kita, kekasih.

Tentang sepasang kekasih yang selalu merindu kasih dari kekasih yang terkasih dalam kisah kasih.


 ***

Hidup = Ping ?


ping !

Apakah hidup harus tetap kuhidupi
Jika destination unreacheable

reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
Hidup itu tidak menyenangkan

reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
reply from 10.0.18.38: bytes=32 time=1ms TTL=62
Lalu untuk apa hidup?

***

Amerta

Aku ingin ada, lebih lama
Lebih lama dari yang engkau kira
Dalam hidupku, hidupmu, atau hidup mereka
Dalam matiku, matimu,  atau mati mereka
Sebab aku punya puisi, di sini
Di batu yang telah kutulisi namaku sendiri
Tak perduli dibaca atau dicibiri
Puisi akan tetap puisi

***

Aku Kamu

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku cinta"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku sayang"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku sakit"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku perih"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku hampa"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku tangis"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku tawa"

Aku melihat kamu dalam mimpi
Kamu bilang "aku kamu"


Demikian Puisi Mbeling yang saya buat semoga bisa memberi pencerahan bagi yang bingung tentang Puisi Mbeling. Anda juga bisa membaca Fiksimini Tentang Kedamaian. Salam.

Tanpa Titik ; Prosa Tentang Kesunyian

$
0
0
Aku tersesat di kota ini, menyusuri lorong-lorong di antara bagunan-bangunan peneduh. Belum lelah kakiku meski sudah berjam-jam sejak matahari bangkit. Aku masih berjalan, tidak ada keinginan berhenti meski kulihat jalan di depan sana seperti tak berujung. Semakin dekat, sesungguhnya ia semakin jauh.

Aku tersesat di antara kata-kata yang memetakan kesunyian. Di antaranya tak ada arah angin yang memberi arah untuk jalan pulang. Aku tak tahu arah jalan pulang

Dan langitpun kembali mendung, mentari mengintip sebentar-sebentar tak berani keluar dari balik awan hitam. Padahal tengah hari biasanya panas menyengat memompa keringat, tapi tidak untuk hari ini. Gerombolan mendung telah menyergap mentari dan mengkerangkengnya dalam hitam. Perlahan namun pasti titik-titik hujan mulai menelanjangi siang membasahi kerinduan tapi melunturkannya. Sekian lama rindu itu mengendap dalam sudut gelap menanti sebias cahaya mendamba desah nafas menyatu. Aku selalu di sana setiap saat, dan bila gelap menyekap aku hanya menyalakan rindu dalam hatiku, karena aku pikir hanya hatikulah yang bisa menerangi diriku saat tak ada kamu.

cerpen kesunyian


Kupejamkan mataku dan membayangkan hadirmu berikan hangat dan kita menyatu dalam desah nafas memburu. Begitu sering kita melakukan itu hingga candunya mengikat hasratku setiap waktu. Berbulan bahkan bertahun sudut itu selalu kita hiasi dengan canda, tawa, desah nafas kita dan kita teguk anggur dalam cawan cinta kita. Sehingga hampir saja aku membuat rumah dalam sudut yang gelap yang dindingnya masih tercium bau keringat kita. Masih terngiang di telingaku saat kautiupkan lembut kata setiamu dan kulihat terselip tulus di lipatan telingamu. Lipatan-lipatan yang sering aku ciumi saat rindu menggangguku.

Rasanya tak ingin hari berganti, tapi waktu mengalahkannya dan detik demi detik menuntunku ke bandara tempat kita melepaskan genggaman saat kepergian. Tetes airmata yang menelaga selalu menyertai awal langkahku darimu. Sering kali kamu membuat telaga-telaga baru di bandara itu yang setiapnya tak pernah mengering. Bahkan menyatu dan mengairi cinta kita. Pematang-pematang tempat kita berjalan masih meninggalkan jejak-jejak dan mengering. Jejak-jejak yang kadang aku menengoknya untuk sekedar mengulang cerita yang lalu. Cerita yang membuatku selalu terkenang akan tawamu, candamu, dan cubitan-cubitan kecil di lenganku. Rasanya enggan aku menutup buku harianku yang saat ini kubaca sambil membayangkan yang pernah terjadi antara kita.

Tapi cerita tentangmu telah berakhir tanpa titik, tanpa koma, hanya tanda tanya berjajar memagar. Aku bisa menerima hujan yang kau turunkan, tapi aku belum mengerti kenapa kau basahi dan lunturkan rinduku? Rindu yang juga pernah menjadi milikmu dan mungkin akan tetap menjadi milik kita. Aku juga masih belum mengerti mengapa kau biarkan dirimu terlena dalam belaian malam dan terlelap, mengapa kaubiarkan petir menyambar menghanguskan asamu? Sementara kau pernah tanamkan pohon asa itu di hatiku. Yang cabang, ranting, dan daunnya merindangi cinta kita, yang buahnya pernah kita makan bersama.

Aku cuma mengerti bahwa saat ini dirimu telah berlalu dari pandanganku. Aku cuma mengerti bahwa saat ini kau telah campakkan sebelah hatiku yang pernah kuserahkan untukmu. Hari-hari bersamamu takkan mungkin kembali, mendung yang kaubawa telah menurunkan isinya dan melunturkan rindu. Apa yang pernah kita lewati adalah keindahan, apa yang pernah kita rasakan adalah kebahagiaan, walau itu telah berakhir.

Di sini, di puncak gunung keputus-asaan aku baringkan diriku agar sang kabut menyelimuti dan membekukan diriku, seperti cintaku.


Restu Dari Surga ; Cerpen Cinta Tak Direstui

$
0
0
Salam. Masih dengan karya Cerpen lama saya. Kali ini cerpen tentang cinta yang tidak direstui. Pernikahan tanpa restu orang tua. Bagaimana kisahnya, mari simak bersama.

Sebuah Cerpen Cinta yang Tak Direstui

 Restu Dari Surga


 "Pergi kau! Aku tidak punya anak durhaka sepertimu!..."

Seorang wanita muda menyentuh pundakku, membuyarkan lamunan. Lantas mengamati refleksi bayangku dalam cermin yang terbalut baju pengantin. Budhe Santi namanya, dia istri Pamanku. Paman sendiri masih berada di ruang depan bersama para Kyai, menjadi wali akad nikahku. Kuusap lembut dahiku dengan tisu, menjaga keringat meleburkan riasan di wajahku.

"Kawulo terimo pendaupanipun lan penikahipun tiyang estri ingkang nami Rahma Binti Suryono . Pendaupanipun lan penikahipun ingkang sampun pasrah dateng panjenengan kelawan mas kawin arto gangsal atus ewu rupiah sampun kulo bayar tunai."

Terdengar kalimat akad telah dilantunkan dengan lancar. Tak terasa bulir bening berloncatan dari sudut mataku. Ya Rabb, jika memang ini jalan yang Engkau ridhoi, lunakkan hati Bapakku ya Allah yang Maha pemberi, desah batinku.

Gejolak batin berkecamuk dalam dada. Pikiran gelisah akan restu Bapak yang belum kudapatkan masih terus mengganggu di detik-detik bahagiaku.

Sebuah Cerpen yang Tak Direstui


***

"Bapak, bukan dia pelakunya. Kenapa Bapak menyamakan dengan Abangnya?" isak tangisku memuncak. Berlutut dan memeluk kaki Bapak.

"Tidak peduli apapun. Bajingan itu berasal dari keluarga biadab itu !" bentak Bapak tanpa memandangku.

"Pak, dengarkan aku..."

"Cukup! Pergi kau dari sini jika tidak mau menuruti kataku!

"Apa kau tega menambah penderitaan kakakmu? Apa kau lihat ada tanggung jawab dari keluarga bajingan itu, hah!

"Apa kau merasakan jeritan sakit kakakmu? Apa kau merasakan ketika kakakmu diperkosa abangnya, hah! Lalu kau mau bergabung dengan keluarga bajingan itu? Lebih baik aku tak punya anak durhaka sepertimu!" umpat Bapak.

"Pak, dia tidak seperti abangnya pak. Dia tidak sama dengannya. Percayalah... " tangisku makin menderu.

"Apa kau mau melihat Bapakmu bakal jadi gila seperti kakakmu karna harus melihat kamu bersama keluarga bajingan itu? Beruntung ibumu sudah mati, hingga tak perlu melihat tingkahmu seperti ini!" Suara Bapak makin meninggi. "Dan masih untung lelaki bangsat itu karena tak ada bukti-bukti untuk mejeratnya ke dalam penjara. Padahal dia juga yang membunuh janin dalam kandungan kakakmu. Apa kamu ingin Bapakmu menyaksikan itu terjadi juga padamu? Apakah Bapakmu harus menyaksikan untuk kedua kalinya, putrinya diperkosa lalu pria itu menolak bertanggung jawab dan membunuh janinnya sehingga membuatnya gila? Apa kau ingin gila seperti kakakmu, hah!" Bapak menatap tajam, melukiskan raut wajah serupa singa yang siap menerkam.

"Tidak pak... Kami akan menikah. Kami ingin sah sebagai suami istri, pak... "

“Sampai mati pun aku tak akan pernah merestuimu! Tak akan kubiarkan kau jadi bagian dari keluarga biadab itu. Seluruh keluarganya sama saja!”

“Pak, kami akan menikah resmi pak. Kami akan menikah. Kami akan mengontrak rumah sendiri pak... “ ratapku tiada henti.

"Baik. Kalau kau memang ingin demikian, kau bukan anakku lagi. Camkan itu!

" Pergi kau! Aku tidak punya anak durhaka sepertimu!" Bapak berlalu. Terdengar bantingan pintu dari arah kamar Bapak.


***

Prosesi pernikahan telah selesai. Tidak ada keramaian yang bergembira seperti yang telah kubayangkannya selama ini. Tidak ada tenda biru, tidak ada janur kuning, tidak ada pelaminan dengan hiasan megah. Tidak ada pesta layaknya pernikahan pada umumnya. Tidak ada.

“Sekarang kalian telah sah menjadi suami istri. Cium tangannya,” ucap Budhe Santi ketika mas Rahmat menghampiriku di ruang tengah.

Aku meraih tangan lelaki tampan di depanku. Mengecup punggung tangannya lalu memeluknya sesaat. Sebentuk cincin polos dimasukkan ke jari manisku. Aku menatapnya. Lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku itu tersenyum. Air mataku kembali menetes. Merusak polesan bedak diwajahku. Mengalir lewat lekuk pipi dan menyisakan butiran di ujung bibir.

***

Untuk Bapak,
Bapak, bagaimanapun kerasnya Bapak menentang, memutuskan hubungan kita, hubungan itu tetap ada. Dan aku tetap menganggap Bapak sebagai ayahku. Satu dan selamanya….

Bapak, aku mengenalnya jauh sebelum kejadian itu. Bagaimana mungkin Bapak tega memberatkan kejadian tragis itu sebagai bagian dosa-dosa yang harus ditembusnya meski dia tidak pernah melakukannya. Bukankah Bapak selalu mengajarkan untuk tidak memiliki dendam? Bukankah Bapak juga yang selalu memberitahu bahwa kebencian pada seseorang jangan dikaitkan dengan orang lain yang tidak berdosa?

Bapak, dosakah itu jika aku menikahi pria yang kucintai? Memisahkan dia dengan keadaan yang seharusnya bukanlah beban dia? Maaf Bapak, jika pada kenyataannya Bapak tetap menganggap itu suatu kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku akan menjalaninya. Dengan ataupun tanpa restu dari Bapak, meski Bapak tahu jelas harapan akan restu dari Bapak selalu ada dan tak pernah sirna. Aku sudah bicara dengan Paman Fandi, dia bersedia menjadi wali nikahku.
Bapak ... maaf karena anakmu tidak berbakti.
Dengan cinta yang penuh tangis darah,
Putrimu,
Rahma Raisya.

Sepucuk surat telah sampai pada alamatnya, ketika rumah itu ramai orang-orang. Sepucuk surat itu tepat pada tujuan, tapi terlambat. Seraut wajah tua yang penuh kerutan telah memejamkan matanya. Terbujur kaku, terbungkus kain putih dengan hiasan kapas pada lubang hidungnya. Diam untuk selamanya. Hanya beberapa jam, dipisahkan oleh jarak, dua peristiwa besar telah terjadi. Apakah “maaf” dan “restu” itu masih ada?


Batang, 26 Maret 2011

Penyair Hanya Punya Kata-kata ; Sebuah Pandangan Puisi

$
0
0
Penyair Hanya Punya Katakata

... Penyair hanya punya kata-kata, campakkanlah ia di sudut yang paling sudut, karena ia adalah aku…

Teman, kalimat itu aku baca di lembaran terakhir buku lusuh yang kutemukan di jalan. Entah mengutip dari mana, entah ditujukan untuk siapa, aku tak peduli. Hanya, ketika ada sedikit kesalahpahaman dengan kekasihku, kalimat itu kukutip dalam surat untuknya (mungkin itu romansa tahun usang, kalau sekarang, katanya, sudah tidak jamannya surat-suratan). Kamu tahu hasilnya? Damai pun menyinari bumi. Teman, begitu dahsyatkah kekuatan sebuah puisi?

Yang mengherankan, sampai dengan sekarang kalimat tersebut begitu lekat dalam ingatanku. Melebihi ingatan gejolak kerinduan yang disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu (dari sajak Sapardi Djoko Damono, judulnya “Aku Ingin”).

Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Untuk kemudian dengan rela dicampakkan di sudut yang paling sudut. Mungkin di laci meja berteman dengan tumpukan bon warteg, berdebu, dimakan ngengat, dan kemudian tak terselamatkan karena banjir melanda kota. Mungkin juga sedikit keren nampang di toko buku, tapi merana karena tak terbaca dan jumlahnya hanya sedikit berkurang. Atau mungkin bersemayam di sudut yang begitu dalam di hati kekasih pujaan, menatahkan prasasti kebahagiaan yang begitu personal, untuk kemudian terempas kenyataan karena ada orang lain yang menyodorkan syair kemapanan. Dan mungkin juga terbenam di sudut pikiran kita, tak tertuliskan, tak terkatakan, menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan. Yang paling parah tentu dicampakkan oleh institusi yang merasa kehormatannya dilecehkan: ke dalam penjara keterasingan atau dihilangkan begitu saja.

Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Kata-kata yang mungkin hanya dibaca oleh penyair lain, pemerhati sastra, pengamat sastra, atau masyarakat komunitas sastra. Sambil was-was mengharap penilaian bintang lima. Bukankah orang-orang itu sudah terlalu kenyang melahap hal-hal tersebut? Beranikah kita berharap puisi-puisi bisa akrab di telinga masyarakat umum, seperti lagu dangdut yang begitu riuh berdombretan menyambut pagi yang menyingsing, padahal sama-sama berisi kesedihan? Apa penyair harus minta bantuan aransemen kepada Erwin Gutawa atau Dhani Dewa, kemudian dinyanyikan secara mendesah oleh Ayu Ting Ting atau Syahrini? Menjadi semacam jalan "sosialisasi puisi". Tapi, jangan-jangan pengamat sastra dan penyair itu sendiri merasa terjebak dalam lingkaran budaya populer. Nah lo….

Teman, banyak orang mengatakan bahwa penyair adalah seorang yang memiliki kepekaan jiwa, lihai mengungkapkan perasaan, sabar dalam menyelami makna, dan sifat-sifat yang mulia lainnya. Jadi, berbanggalah para penyair. Ya, walaupun banyak pula orang yang mengatakan bahwa penyair (dan seniman lainnya) hanyalah orang dengan tingkah laku, pakaian, dan berpikiran aneh. Maksudnya mungkin "nyeni". Tapi percayalah, Teman, bahwa penyair dilahirkan di dunia ini untuk memberi setitik cahaya terang, seperti nyala lampu lilin di gelap malam sunyi. Setidaknya, itu untuk diri sendiri, kekasih, teman terdekat, dan masyarakat (kalau bisa).

Teman, benarkah penyair hanya punya kata-kata? Mungkin tidak! Wiji Thukul tak hanya punya satu kata: Lawan. Jalan hidupnya sendiri adalah sebuah perlawanan. Mungkin tanpa ia berkata-kata. (Meski keberadaannya pun hilang tanpa kata-kata). Bagaimana bila kata itu aku yang menulis, seorang yang sendirian, yang sekadar menulis tak karuan, tak pernah turun ke jalan, dan selalu terlambat dalam bersikap? Mungkin hanya kata-kata kosong, Kawan.


Sebuah Pandangan Puisi

Teman, aku selalu ragu apakah puisi yang aku tulis bisa singgah di hati pembaca. Karena, terus terang saja, aku sendiri begitu malas membaca, apalagi memahami puisi. Ya, buktinya buku antologi puisi yang aku punya hanya hasil dari hadiah penerbit atas cover buatanku. Nama-nama penyair pun kuingat hanya sebatas nama, itu pun yang umum-umum saja. Jadi, aku tak berhak mengharapkan agar masyarakat umum bisa membukakan diri pada puisi.

Teman, aku hanya punya kata-kata. Itu pun selalu tak karuan. Jadi, kalau kamu bertanya, "Lalu untuk apa menulis puisi?" Mungkin aku akan menjawab, "Entahlah.…"

Viewing all 39 articles
Browse latest View live